Pernikahan memang selalu dikesankan indah. Atau memang
benar-benar indah. Terutama bagi mereka yang ingin segera mengalaminya. Seorang
kawan bilang, dunia setelah pernikahan bagi para bujangan adalah alam ghaib
yang penuh misteri. Keindahan dan kenikmatannya-juga pahit getirnya-hanya bisa
dirasakan oleh mereka yang telah memasuki alam ghaib itu. Dan keindahan itu
jadi lebih awal dirasakan jika tanpa disangka-sangka orang tua menawarkan
"seseorang" yang sangat sesuai dengan kriteria yang diidamkan-dan
tentunya kita dalam kondisi siap. Orang tua yang sangat memahami anaknya,
seperti Umar bin Khatab.
Mungkin terlalu melankolis jika seorang lelaki mengharapkan
penawaran dari orang tuanya. Tapi, mau gimana lagi, realita yang ada memaksa
sikap melankolis itu bertunas. Kesiapan membangun rumah tangga selalu
diidentikan dengan kesiapan materi, dan itu seringkali tidak dimiliki oleh
kebanyakan lelaki seusia Rasulullah Saw.-ketika Beliau menikah-yang baru saja
selesai kuliah. Memang kesiapan materi sangat penting untuk membangun mahligai
rumah tangga, terutama kalau kita ingin mencontoh Rasulullah Saw. Selain
usianya 25 tahun ketika beliau menikah, kita juga harus tau bahwa mahar
Rasulullah untuk masing-masing isterinya tak kurang dari 400 dinar (atau
kira-kira senilai 180 juta rupiah, untuk uang sekarang). Tapi itu juga bukan
segalanya, bukankah Rasulullah juga menikahkan Sayidina Ali dengan puterinya,
Fatimah Az-Zahra, hanya dengan mahar baju besi yang tidak seberapa?
Memasuki usia duapuluh lima tahun,
seorang lelaki sering kali dihadapkan pada sebuah pertanyaan wajib, "kapan sih kamu nikah?"
setiap orang selalu menanyakan hal tersebut. Atau kalau tidak, ia sendiri yang
bertanya kepada diri sendiri. "Ya, kapan ya, aku nikah?"
Dalam lamunan, ketika seorang lelaki yang mendekati usia
duapuluh lima
tahun bervisualisasi tentang masa depannya, sering kali menciptakan gambaran
ideal tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Bagaimana ia ingin menjadi
suami dari isteri yang cerdik, cantik dan shalehah; bagaimana ia akan
membahagiakan isterinya tersebut dengan memenuhi segala kebutuhannya; bagaimana
ia juga akan senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya dengan memberi
berbagai hadiah dan perhatian, tidak lupa untuk menjadi menantu yang terbaik
bagi ibu-bapak mertua, juga menjadi ipar yang baik; bagaimana ia ingin bisa
membangunkan rumah yang luas untuk keluarga kecilnya; bagaimana ia memberi nama
putera-puterinya dengan nama-nama yang indah dan baik, mendidik mereka dengan
didikan yang baik dan benar. Semuanya dilamunkan dengan sangat ideal dan indah.
Tapi, ketika visualisasinya selesai dan kembali mendarat di
bumi ia mendapati realita yang tidak seindah lamunan. Ia pun sadar bahwa semua
yang dilamunkannya bukan sesuatu mudah untuk diwujudkan. Tidak mudah
mendapatkan isteri yang cantik luar dalam, sama susahnya dengan mendidik diri
sendiri agar tampan luar dalam, atau bahkan lebih susah. Bukan perkara gampang
mewujudkan kemapanan ekonomi bagi pebisnis pemula. Tidak murah membangun rumah
luas dan nyaman untuk keluarga kecilnya. Lalu, tidak gampang juga membagi cinta
untuk semua, anak-isteri, ayah-ibu, mertua, dan saudara-saudara. Seringkali
segala keterbatasan yang dimiliki mendatangkan kesalah-pahaman bagi orang-orang
yang dicintai. Mendidik anak-anak juga tidak semudah memilihkan nama yang indah
dan baik untuk mereka. Semuanya perlu persiapan yang benar-benar matang. Dan
visualisasi adalah satu tahap persiapan itu. Karena kalau dalam lamunan saja
belum pernah ada, apalagi dalam kenyataan.
Dari sini kita temukan inti persoalannya: kesiapan.
"Kematangan" banyak lelaki usia duapuluh lima tahun tidak beriringan dengan kesiapan
mereka untuk survive di jenjang kehidupan yang lebih tinggi.
Ketidaksiapan secara finansial sering kali menjadi alasan utama untuk menunda
pernikahan, padahal jawaban seorang kawan sangat bagus untuk menangkis alasan
ini. Orang yang sudah bekerja sebelum menikah mungkin di-PHK , orang yang sudah
berwiraswasta sejak masa lajang juga bisa bangkrut, kenapa mereka berani
menikah? Sebaliknya, orang yang belum dapat kerja, setelah menikah mungkin
dapat pekerjaan, orang yang masih belajar berwiraswasta, setelah menikah
mungkin menjadi wiraswastawan yang berhasil, kenapa mereka takut menikah?
Persoalannya adalah kepada siapa kita bertawakal? Apakah kita bertawakal kepada
instansi tempat bekerja atau kepada Allah? Kalau kita tawakal kepada Allah yang
Maha Memberi rizki, kenapa kita terlalu bersandar pada pekerjaan atau
kesuksesan bisnis?
Sungguh, yang terpenting dari kesiapan itu bukan
ketersediaan, melainkan mentalitas. Kesiapan mental untuk menghadapi apapun
kondisi dan situasi kehidupan. Inilah inti ajaran tawakal. Ketersediaan akan
ada habisnya, sedangkan mentalitas yang kuat bisa meyelamatkan kita dari segala
bentuk ujian dan cobaan hidup. Sayangnya, mentalitas ini pula jarang ditemukan
pada kebanyakan lelaki menjelang usia mereka yang keduapuluh lima tahun. Menambah lengkap ketidak-siapan
mereka.
Mungkin inilah yang harus dipahami oleh semua lelaki yang
mendekati usia duapuluh lima
tahun tetapi masih ragu untuk memasuki "alam ghaib" pernikahan.
Selain harus tahu juga bahwa usia duapuluh lima
tahun yang sesuai contoh Rasulullah adalah duapuluh lima tahun dalam hitungan Tahun Hijriyah,
atau sekitar duapuluh tiga tahun setengah dalam hitungan Tahun Masehi. Jadi,
kalau sekarang sudah menjelang usia duapuluh lima tahun dalam hitungan Masehi, artinya
sudah lewat setahun lebih dari usia Rasulullah ketika Beliau menikah. Nah lho!
No comments:
Post a Comment
Ayo semua...
jadikan hidup kita lebih berarti dan bermanfaat bagi kita
bagi dunia kita...
salam selalu untuk Kalian...