Dec 19, 2012

Sudut Pandang Ru, Su, dan Zu (Pengkhinatan Su dan Kesedihan Zu)





*hari ini pukul 07.30 tanggal 19 juni 2009.. tepat saat Su dan Zu datang
hanya kata maaf itu yang aku tunggu, ya sebuah kata yang sederhana namun begitu luar biasa berat untuk diucapkan, mungkin sedari kecil kita secara tidak sadar untuk diajari bagaimana cara meminta maaf yang baik, namun kita tidak diajari untuk meminta maaf dengan tulus..

***

Kegusaran, keprihatinan, kekecewaan, mungkin juga kemarahan. 
Rasa itu mengitari pergulatan dalam dialektika diantara pikiran ku saat ini.

-apa maksud semua ini? 

Hari ini, gambaran yang dipaparkan jelas menggambarkan peristiwa yang sama. 
substansi yang tak jauh berbeda, membangkitkan emosi.

-hei, stop. mari berkaca Apakah kini orang-orang tak lagi mempersoalkan moralitas, etika?

whats?? apa hak kamu berbicara tentang pranata sosial?? dalam hal apa kamu berhak berbicara dalam norma dan kaidah?? 

- Apakah anda lupa tentang hak dan kewajiban? Apakah mereka juga lupa akan tata nilai dan rasionalitas?

Penghianatan itu begitu menyakitkan kawan, tapi ini realitas yang hadir sebagai dinamika.
Ini untuk ketiga kalinya,aku harus berhadapan dengan pengkhianat seperti anda, 
anda yang telah saya anggap saudara melebihi saudara kandung saya. 

- saya tidak mengerti? bisa anda jelaskan dan jangan gunakan bahasa sastrawi anda saat ini..

sesuatu yang berhadapan untuk urusan prinsipil,soal komitmen dan konsistensi serta resiko. 
Tak peduli bahwa saya akan kehilangan anda sebagai teman, kawan dan sahabat,
tak peduli jika memang harus berseberangan dan konfrontasi.

- apa dan tentang apa?

Kita bicara soal ucapan dan perbuatan, akal-mulut-hati harus linier, tidak bisa seenaknya untuk bertindak zig-zag.

- Tindakan apa dan perbuatan mana dari yang telah saya lakukan yang telah mengganggu eksistensi yang anda maksud?

nama baik, dan keutuhan cita-cita dan perjuangan bersama, saya pikir tiga kata itu mewakili semua pengkhianatan anda.

- mari kita bicara dalam bahasa yang lebih sederhana? 

sederhana? seandainya bisa.

*tak pernah aku lihat Ru sedemikian marah, aku lihat ia tenang. namun sorot matanya jelas memperlihatkan amarah yang tak akan padam, meskipun aku tau hanya permintaan maaf yang ingin ia dengar saat ini.. namun aku pada ke egoan ku, aku tak merasa bersalah dengan semua ini, dan ini adalah prinsip hidupku aku tak akan meminta maaf pada apa yang ku rasa tidak seharusnya aku meminta maaf. sampai akhirnya semua berlalu dan biarkan detik yang mengejewantahkan semua pada waktu dan sesuai pada garis Tuhan.

*dan seperti Ru memang marah, ia menggunakan kalimat yang sangat baku untuk ukuran seorang sahabat yang telah dekat satu sama lain.. 
diri ini ingen berkata, namun ku pendam dalam hati dan hanya menyaksikan apa yang mere perdebatan. karena merek pun tak memberi ruang untukku mengikuti alur mereka.
"Sebenarnya tak ada kaitannya dengan pelanggaran, penyimpangan terhadap misi yang harus diemban." 
Tapi ini soal sederhana yang akan berimbas pada tujuan perjuangan, soal taktik yang berbahaya dalam mencapai strategi. 
Ringkasnya taktik ‘makan’ strategi. Jika sudah demikan maka tak ada pilihan lain, 
kita yang ‘rusak’ atau hanya segilintir orang saja yang harus disingkirkan, 
pahit memang tapi ini demi untuk menyelamatkan cita-cita dan tujuan bersama.
Jika kita anti kekerasan maka kita harus tidak untuk bertindak dengan kekerasan
Jika kita bicara soal hak maka kita tak boleh sedikit pun memungut hak orang lain
Jika kita mendambakan kebahagiaan maka biarkan ia ada dalam kesejahteraan, kedamaian, 
kenyamanan, dan jauh dari ketakutan.

rasa persahabatan dan kedekatan yang terlalu mendalan antara Ru dan Su menyebabkan mereka tak bisa lagi menggunakan logika mereka untuk berpikir dengan jernih, hanya ada emosi yang bermain saat itu, sampai akhirnya mereka terkungkung dalam pelarian yang tak ber ujung dan meninggalkan bekas luka yang tak berakhir sampai detik ini.. 

Kemampuan menjalin relasi pertemanan merupakan bagian dari kompetensi interpersonal skill dan soft skill seseorang. lima aspek kompetensi interpersonal yaitu: a. kemampuan ber-Inisiatif (initiative): b. kemampuan menyangkal peryataan negatif (negative assertion): c. self disclosure: d. kemampuan ber-empati dan e. kemampuan manajemen konflik.

Kemampuan menjalin relasi pertemanan menjadi hal penting karena bagian dari keterpaduan soft skill yang harus dimiliki dalam menjalin interaksi sosial, baik di lingkungan masyarakat maupuan di lingkungan kerja dan keluarga.

Ketidak-mampuan seseorang dalam memiliki lima kemampuan dasar dalam menjalin relasi pertemanan, dimungkinkan akan berimbas pada berakhir suatu hubungan pertemanan dan rata-rata hal ini diakibatkan karena kurang mampu dalam poin d dan e

Tidak jarang dalam suatu pertemanan muncul berbagai konflik, karena diperlukan kemampuan untuk bisa saling mengisi dalam setiap aspek kompetensi diantara sesama teman, tapi perlu di ingat pula bahwa teman kita itu manusia, sehingga perlu disadari betul bahwa selalu ada ketidak sempurnaan dalam segala hal. pun demikian dalam pertemanan, jangan menuntut sebuah kesempurnaan, tapi saling melengkapi dan mengerti serta komunikasi,  itu saja sudah cukup.


end of Sudut Pandang Ru, Su dan Zu 

Pilihan


PILIHAN

Saudaraku,
Sendirian kadang lebih menyenangkan, Dalam kesendirian kita bisa merasakan kebebasan, dalam kesendirian kita bisa menarik nafas dengan lega, dalam kesendirian kita bisa berpikir dengan lebih jernih dan rasional, dalam kesendirian kita bisa melepaskan segala beban yang telah lama bertumpuk dalam diri kita, dalam kesendirian kita bisa  mengisi kembali energi untuk memulai hidup pada esok hari.  @@@Wew Efek depresi Berat nih…. Wakakakakakak
Saudaraku,
Kadang kita tak sadar dengan waktu yang kita buang dengan sia-sia, waktu kita habis karena kita menunggu sahabat yang kadang datang terlambat, terbuang karena obrolan tak bermutu yang sebenarnya hanya mengulang dari apa yang telah di katakan pada hari-hari sebelumnya, Tercuri oleh jalan-jalan melelahkan tanpa tujuan. @@@Wah Efek Gerhana Dalan Usia Senja ….
Saudaraku,
Hidup adalah pilihan, tak semua ajakan harus kita penuhi dan kita terima, target yang ingin di capai hendaknya harus bisa menjadi prioritas utama kita dalam mengambil keputusan antara menerima atau menolak ajakan yang di ajukan. Menolak tidak selalu harus di artikan sebagai pemutusan jalinan terhadap apa yang telah kita rangkai. Kadang menolak bisa di artikan sebagai bukti bahwa kita memiliki pendirian dan prinsip yang teguh. @@@ beuh sok Idealis padahalmah Pragmatis@@
Saudaraku,
Hidup adalah pilihan, kesalahan dalam menentukan pilihan akan menimbulkan penyesalan yang tiada akhirnya di masa depan kelak. Penyesalan datang ketika telah melakukan perbuatan, tak ada penyesalan yang terjadi pada awal cerita, ia akan datang pada akhir dari sebuah cerita. Karenanya selalulah berhati-hati dalam menentukan pilihan.

Malam Sunyi,
    MAlam Gelap

Ingatlah……
Penyesalan datang dari,
Waktu yang tak pernah bisa di ulang 


Sebuah penyesalan dari diri ini telah membawa seseorang kedalam dunia dimana diri ini sering untuk terluka, sedih dan tersayat ketika melihat dia orang yang disayangi terluka, rasa sesal itu..rasa sesal telah membawa dia kedunia yang penuh dengan perasaan emotional,,Diri ini terlalu egois untuk selalu ingin hadirkan dia dalam bayangan disamping diri ini.

Sampai akhirnya,, Berat dan terasa sulit untuk berikan yang terbaik untuk nya…sebelum penyesalan itu berlanjut dan membuat semakin terluka, diri ini ingin tuk pergi dari dunia dimana ia ada. biarkan ia kembali dengan dunia lalunya, dimana ia bisa tersenyum dan bahagia dengan semuanya tanpa hadirnya seorang PSYCHO, tidak terluka dan tidak bersedih…diri dan jiwa ini meminta maaf  telah menyeret seseorang kedalam Dunia yang terlalu Sulit untuk dimaknai. Diri ini hanya ingin ia tersenyum dan bahagia seperti saat ia pertama Dikenal…

Dan biarkan diri ini kosong dengan para kelelawar malam.karena mungkin disanalah kebahagian itu akan tertapaki, Dengan harapan setelah jiwa ini pergi ia akan tersenyum untuk kebahagiannya.

Last But Not Least
”Berat buat Nulis Ini,,tapi Mungkin Ini Pilihan Yang Terbaik”
“sebuah Rumah Sederhana Diujung sebuah Kota tua”
”bunga itu Mekar
  Bunga Itu layu”

*Repost from Fredy rakean masengjaya Ardiwinata : dlanor.blogdetik.com

Dec 18, 2012

JANJI ARYA . . .


JANJI ARYA . . .


“Neng, ada telepon”, seru Bi Sumi mengetuk pintu kamarku.
“Dari siapa Bi?”
“Dia hanya bilang dari temennya Neng Tiwi”
Aku keluar kamar menuju meja telepon diruang tengah.
“Hallo”.
“Hallo, Tiwi? Lama gak ketemu, apa kabar?”, sapa disebrang telepon sana.
“Ini siapa ya?”
“Masa lupa sih sama suara gua?”
“Siapa sih?”
“Masa lupa Wi?”
“Beneran, asli gua gak inget. Siapa sih loe, atau gua tutup nih telepon”, aku mulai kesal merasa dipermainkan. Tiba-tiba dia ngakak keras-keras.
“Ternyata loe masih seperti dulu ya Wi, judes”.
Ketawa itu! Aku ingat ketawa itu. Itu ketawa khas-nya Arya. Tapi apakah yang nelepon ini Arya? Benarkah?
“Arya?”, tanyaku singkat saja takut salah, tapi aku yakin sekali dengan ketawa tadi, gak mungkin salah itu ketawanya Arya.
“Betul Wi, gua Arya. Lupa ya?”
“Habis loe menghilang begitu saja bak ditelan bumi. Eh, loe dimana sekarang, masih di Bandung?”
“Gua kerja di Jakarta Wi, udah empat tahun. Sekarang lagi balik ke Bandung mudik lebaran. Eh lupa nih, Minal aidzin Walfaidzin ya Wi”.
“Sama-sama Ya”, jawabku singkat. Aku masih belum percaya Arya meneleponku.
Arya mantan pacarku selagi SMU. Lebih tepatnya cinta pertamaku. Begitupun dengan Arya, aku adalah cinta pertamanya. Kami berpacaran selama tiga tahun, dan berpisah sejak sembilan tahun yang lalu. Meskipun tinggal dalam satu kota, sejak berpisah kami tidak pernah bertemu lagi, hanya mendengar kabar selintas-selintas dari temen-temen. Pernah sekali Arya menelponku pada saat aku wisuda S1 Ekonomi Akuntansi_UNPAD. Entah dapat kabar dari mana Arya tahu kalau aku diwisuda saat itu.
Banyak kenangan yang kulalui bersamanya. Aku sudah dekat dengan keluarga Arya, begitupun Arya dekat sekali dengan keluargaku. Masih terlihat jelas dalam ingatanku saat ibunya Arya mengetahui kami akan berpisah, beliau menangis sambil memelukku.
“Nak Tiwi, Ibu sudah menganggap Nak Tiwi seperti anak Ibu sendiri. Jangan melupakan rumah ini ya Nak, sering-sering main kemari”.
Akupun tak kuasa menahan tangis. Tanpa sadar kulihat Arya juga menangis kemudian memeluk aku dan ibunya. Kami memang pisah secara baik-baik dan atas keinginan berdua.
Arya anak bontot yang sangat dekat dan disayangi ibunya. Dua kakaknya sudah mandiri, dan tidak tinggal serumah lagi dengan orangtuanya. Kak Anjar kerja dan tinggal di Jakarta, sedangkan Kak Luri ikut suaminya ke Padang. Sedangkan aku anak pertama dari dua bersaudara. Menurut kabar yang kedengar selepas SMU Arya kuliah di ITENAS ngambil Geodesi.
“Wi, kok diam. Gua kerumah ya, mau sungkem sama Mama dan Papa”.
“Ups, sorry”. Aku masih terbengong-bengong, pikiranku melayang kesebelas tahun yang lalu.
“Boleh gak nih gua kerumah? Mama sama Papa gimana kabarnya Wi?”
“Boleh, kerumah aja. Mereka sehat”.
“Tunggu gua ya Wi, se-jam lagi gua nyampe rumah loe”.
“Ok”.
Klik!! Telepon ditutup. Aku masih belum percaya kalau yang nelepon barusan adalah Arya. Aku masih duduk tediam dikursi sambil menggenggam gagang telepon.
“Eh, kok bengong. Telepon dari siapa?”, suara Mama mengagetkanku.
“Ayo tebak Ma, barusan Tiwi terima telepon dari siapa?”.
“Kelihatannya kamu seneng sekali, dari Erick ya?”
Erick temen sekantorku, kami memang belakangan ini dekat sebagai sahabat. Erick orangnya baik dan sangat mengerti aku. Aku menganggapnya sebagai kakak.
“Bukan Ma, tapi Arya. Mama masih ingat Arya kan?”
Mama mengernyitkan dahi, mungkin Mama sudah lupa.
“Itu lho Ma, Arya temen Tiwi jaman SMU dulu”.
“Oo, Nak Arya anaknya Pak Tris. Apa kabarnya tuh anak?”
“Dia kerja di Jakarta sekarang Ma. Tadi nelepon bilang mau kesini, katanya sih mau sungkem sama Mama dan Papa”.
“Mau sungkem sama Mama apa mau ketemu kamu?”, goda Mama.
“Yaa Mama, orang dia sendiri yang bilang mau sungkem sama Mama. Udah ah, Tiwi mau mandi dulu”.
“Duh, yang mau ketemu temen lama. Mandi yang bersih sana, dandan yang cantik ya”, lagi-lagi Mama menggodaku.
“Ah Mama, biasa aja lagi, Ma”.
Selesai mandi, aku bingung sendiri mencari baju yang hendak kupake. Beberapa kali bongkar pasang baju, tapi belum juga menemukan yang pas. Ah, Arya. Kenapa aku jadi deg-degan membayangkan pertemuan dengan Arya? Pilihan terakhir, kuambil jeans belel warna biru plus t’shirt putih ketat. Rambut kukuncir, biar terkesan lebih santai. Pada dasarnya aku memang gak suka neko-neko, aku lebih suka bergaya cuek. Baju favoritku celana pendek dan t’shirt. Karena itu pula dulu Arya jatuh cinta padaku. Katanya dia suka aku karena aku cuek dan tampil seadanya, tanpa harus poles sana sini. Satu lagi, “Gua suka ama loe, karena loe judes Wi”, katanya suatu hari saat dia menembakku. Aku masih deg-degan membayangkan pertemuan dengan Arya yang hanya tinggal beberapa menit lagi.
Aduh Arya. Apa loe masih seperti yang dulu? Sembilan tahun nggak ketemu, ada angin apa tiba-tiba sekarang kami kembali dipertemukan. Apakah Arya masih seperti Arya yang aku kenal sebelas tahun yang lalu? Arya yang jangkung, badannya tegap, hidung mancung, alis tebal, dan sorotan matanya, masihkah tajam seperti dulu? Saat SMU, Arya jadi incaran banyak cewek-cewek disekolahnya. Nggak sedikit cewek-cewek yang melirikku dengan tatapan sinis dan penuh cemburu saat aku digandeng Arya kesekolahnya. Kebetulan aku dan Arya berlainan sekolah.
“Neng, ada tamu mencari Neng Tiwi”, Bi Sumi lagi-lagi membuatku kaget. Dadaku langsung berdebar kencang.
“Itu pasti Arya”, gumanku dalam hati. Waduh, apa yang harus aku lakukan nih. Kenapa sih dadaku nggak bisa diajak kompromi, tenang dikit kenapa. Gemetaran, bingung. Aku jadi salah tingkah. Bolak-balik didalam kamar, seperti setrikaan. Kalimat apa yang harus pertama kali terucap? Ya Tuhan, tolong aku, tenangkan hatiku. Aku tarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati sambil mematut diri didepan cermin. Aku harus keliatan ok didepan Arya.
“Neng, ada tamu untuk Neng”, sekali lagi Bi Sumi menegaskan, melihat aku yang belum juga keluar kamar.
“I…i… iya Bi, suruh tunggu sebentar”, aku sungguh gerogi.
Aku keluar kamar menuju teras depan dengan perasaan yang masih kacau. Dikursi teras depan kulihat Arya dibalut jeans hitam dipadan dengan kemeja kotak-kotak kecil abu. Badannya masih setegap dulu, pikirku. Aku masih terpana dimulut pintu, ragu untuk bersuara. Rupanya Arya merasakan ada yang datang, dan menoleh kearah pintu. Saat mata kita beradu, perasaanku semakin tak menentu, dadaku semakin bergemuruh.
“Hai”, sapaku singkat.
“Hai, apa kabar Wi?” sambut Arya seraya menghampiriku dan menjabat tanganku.
“Baik, loe sendiri?”
“Gua juga baik”.
“Duduk deh”, aku mempersilahkan Arya duduk. Kami duduk dikursi teras depan saling berhadapan. Sesaat kami terdiam dan hanya saling bertatapan.
“Hei, kok malah diam”, aku mencoba mencairkan suasana.
“Rumah ini masih seperti yang dulu ya Wi”. Arya melihat sekeliling teras depan rumahku. Memang masih seperti dulu, tidak banyak berubah. Rumah ini masih sama seperti sembilan tahun yang lalu, hanya catnya saja yang diganti. Papa dulu mendesainnya sedemikian rupa, sehingga bangunannya tetap kokoh dan arsitekturnya juga tidak membosankan. Papaku seorang arsitek yang handal dari ITB. Diseluruh bagian rumah ditatanya dengan apik. Saat SMU, aku sama Arya sering menghabiskan waktu diteras depan ini yang menghadap taman kecil rumahku, disamping garasi. Arya mengenal betul setiap lekuk-lekuk dirumahku, dari teras depan sampai teras belakang.
“Eh, ada tamu ya”. Mama dan Papa datang menghampiri kami. Arya berdiri dari duduknya dan kemudian sungkem sama Mama dan Papa.
“Minal aidzin Walfaidzin Oom, Minal aidzin Walfaidzin Tante. Apa kabar Oom, Tante?”
“Alhamdulillah, kami sehat-sehat saja. Ayo silahkan duduk”. Papa mempersilahkan Arya duduk kembali. Kulihat Arya agak canggung berhadapan dengan kedua orangtuaku, padahal dulu mereka begitu akrab, apalagi kalau sudah main catur sama Papa, pasti ujung-ujungnya saling ledek-ledekan. Mungkin karena lama tak ketemu jadi Arya agak kikuk.
“Tiwi, mana minumannya?”
“Oh iya, Tiwi lupa Ma. Mau minum apa Ya? Masih doyan orange juice kan?” Arya hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Arya suka banget sama orange juice, hampir setiap kali makan keluar, orange juice gak pernah absen dari pesanannya. Sampai-sampai Arya hafal betul direstoran mana yang orange juicenya paling enak.
Aku masuk kedalam hendak mengambil minuman. Arya ngobrol dengan Mama dan Papa. Aku nyuruh Bi Sumi membuat minuman, sambil menunggu Bi Sumi meracik minuman aku masuk kekamar kembali mematut diri didepan cermin. Sepuluh menit kemudian aku keluar sambil membawa nampan berisi orange juice dan makanan kecil.
“Minum Ya”.
“Makasih Wi”.
“Ayo silahkan diminum Nak Arya, kami tinggal dulu kedalam ya”, Mama dan Papa pamitan masuk rumah.
“Wi, loe kerja di Visi Interior ya?” Lho, kok Arya tahu aku kerja disitu, aku sedikit kaget.
“Tahu dari mana loe?” aku balik nanya.
“Eh, gua kan punya detektif Wi, jadi kemanapun loe terbang gua pasti tahu”. Aku hanya tersenyum mendengar candaan Arya.
“Ya, loe kemana aja selama ini?”
“Selulus kuliah gua ngelamar kerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta, sampai sekarang dah empat tahun gua kerja disana”.
“Ibu sama Ayah, loe tinggal di Bandung Ya? Sekarang apa kabarnya mereka?”
“Awalnya gua bingung ninggalin mereka Wi, mereka udah pada sepuh. Tapi mereka juga yang menyuruh gua nerima pekerjaan ini, katanya kesempatan datangnya nggak dua kali. Gua ke Bandung tiap Jum’at malam, balik Jakarta lagi Senin pagi”.
“Gak capek loe, tiap minggu bolak-balik?”
“Kalau gua gak balik kasihan Ibu, lagian Bandung – Jakarta sekarang cuma sejam setengah, lewat Cipularang”.
“Loe tinggal sama Kak Anjar?”
“Nggak Wi, gua kost sendiri. Nggak enak nebeng meskipun dengan kakak sendiri, gua tinggal Fatmawati. Kapan-kapan main dong, loe masih suka kerumah Pak De loe yang di Bintaro kan?”
“Gua jarang banget Ya kesana, hari Sabtu gua masuk kerja, liburku hanya hari Minggu jadi susah mau main jauh-jauh. Paling-paling kalo lebaran kayak gini  baru kita ngumpul. Kemarin Pak De dan Bu De baru balik ke Jakarta lagi”.
“Eh, Seno mana gak kelihatan?” Arya menanyakan adikku.
“Tadi pergi jalan, katanya mau nonton bareng temen-temennya”.
“Wi, Ibu pengen ketemu sama loe. Loe mau kan gua ajak kerumah, mumpung lagi pada ngumpul. Kak Anjar dan Kak Luri besok dah pada pergi ke mertuanya”.
Aku bingung dengan ajakan Arya, sembilan tahun lamanya aku gak ketemu dengan keluarganya Arya, aku pasti kikuk menghadapi mereka semua, meskipun dulu sudah sangat akrab.
“Ayolah Wi, Ibu tadi wanti-wanti supaya membawa loe kerumah”, Arya sedikit memaksaku.
“Loe bilang mau kerumah gua sama Ibu?”
“Ya bilang lah Wi, Ibu juga tadi nitip salam buat Mama dan Papa”.
Aku belum mengiyakan atau menolak ajakan Arya, aku masih bingung. Aku jadi teringat jaman dulu saat-saat kami masih pacaran, kedekatanku dengan keluarga Arya, tidak jarang aku dicandain oleh Kak Anjar kakaknya Arya tiap aku datang kerumahnya Arya.
“Wi, kok malah bengong? Gua hitung sampe lima nih Wi”.
“Tapi Ya…”
“Loe ada acara ya?” Arya memotong kalimatku.
“Nggak sih, cuma gua malu soalnya dah lama gak ketemu mereka”.
“Wi, mereka masih seperti dulu kok jadi gak usah malu lah, ok”.
Aku kembali terdiam sebentar dan menghela nafas panjang.
“Ok deh. Tapi diminum dulu dong. Gua pamit dulu sama Mama ya”, aku masuk kerumah hendak pamit sama Mama dan Papa. Aku masuk kekamar sebentar ngambil tas dan sweater. Kemudian keluar bareng Mama dan Papa.
“Lho, kok buru-buru Nak Arya. Nantilah kita makan dulu, memangnya mau kemana?” tanya Mama.
“Anu Tante, Ibu mau ketemu Tiwi jadi Arya mau ngajak Tiwi kerumah, boleh kan Tante, Oom?”
“Boleh aja, tapi pulangnya jangan terlalu malam ya”, pesan Papa.
“Baik Oom, Tante. Kalau begitu Arya pamit dulu”. Arya berdiri menyalami kedua orang tuaku.
“Iya, hati-hati ya. Salam buat Ibu dan Bapak”.
“Baik Tante, kami pergi dulu”.
“Tiwi pergi ya Ma, Pa”, pamitku pada Mama dan Papa.
Kamipun pergi meninggalkan rumahku dengan menggunakan mobil Toyota Avanza silver-nya Arya, melaju membelah jalan Dago. Didalam mobil aku masih terdiam membayangkan pertemuanku dengan keluarganya Arya, terutama dengan Ibunya. Arya pun banyak diam, hanya sesekali dia menoleh kearahku.
Hanya duapuluh menit jarak tempuh dari rumahku kerumah Arya. Tanpa disadari mobil Arya sudah belok ke blok A, aku masih hafal betul denah perumahan ini, selama tiga tahun aku mondar-mandir diperumahan ini. Toyota Avanza yang kami tumpangipun akhirnya masuk berhenti didepan rumah no 12, rumahnya Arya. Ah, rumah ini begitu berarti, menjadi saksi kisah cintaku dengan Arya sembilan tahun yang lalu. Pikiranku masih terlena membayangkan saat-saat indah bersama Arya dirumah ini.
“Ayo turun Wi”, Arya membukakan pintu mobil untukku. Aku turun dengan dada yang semakin bergemuruh. Kuayun langkah satu demi satu menuju teras rumah Arya. Dari dalam terdengar suara ramai anak kecil, mungkin itu anaknya Kak Luri.
Belum lagi langkahku sampai diteras, pintu rumah sudah terbuka, seorang Ibu berjilbab dengan wajah yang anggun menyambutku dengan senyumnya yang khas. Ibunya Arya, diusianya yang sudah kepala enam tapi masih saja segar.
“Assalamu’alaikum Ibu, apa kabar?” aku segera mencium tangannya, Ibu Arya memelukku.
“Wa’alaikum salam, Nak Tiwi”, kudengar suara Ibu terbata-bata menjawab salamku, rupanya Ibu menahan tangis. Suasana menjadi haru, akupun nggak kuasa menahan tangis.
Kami masih berpelukan diteras saat Ayah dan Kak Luri serta anak dan suaminya berhamburan keluar, satu-satu kusalami mereka dengan mata yang masih basah. Arya menyodorkan tissue kepadaku. Ibu mengajakku dan yang lainnya masuk kedalam rumah.
“Akhirnya anak Ibu yang hilang sudah kembali. Nak Tiwi kemana aja selama ini?” Aku tidak menjawab, hanya tersenyum saja.
“Papa dan Mama apa kabarnya?” tanya Ayah Arya.
“Alhamdulillah sehat Ayah, mereka juga titip salam untuk Ayah dan Ibu disini. Ayah sama Ibu juga sehat kan?”
“Ibu sih sehat Wi, tapi Ayah belakangan ini sering sakit-sakitan, Ayah Hipertensi Nak Tiwi”, Ibu yang duduk disebelahku menjelaskan. Kak Luri datang dari arah dapur membawa nampan berisi  teh hangat.
“Minum Wi”.
“Makasih Kak, jadi ngerepotin”, aku jadi merasa nggak enak, dulu kalau mau minum aku biasa ambil sendiri kedapur.
“Hei, kemana aja loe Wi?” tiba-tiba Kak Anjar keluar dari kamar, langkahnya diikuti perempuan cantik dengan wajah yang sangat keibuan. Istrinya?
“Kenalin Wi, istri gua”, kak Anjar memperkenalkan istrinya.
“Nova”.
“Tiwi”, aku berdiri menyalami istri Kak Anjar.
“Bimo, udah salaman belum sama tantenya?”
“Sudah Ma”, suara Bimo yang masih cadel menjawab.
“Sudah berapa puteranya Kak?”
“Anjar baru satu Wi, Kak Luri sudah dua”,

To Be continued...

Teruntuk para kalelawar malam yang telah pergi dan mungkin takkan kembali :

Diriku dan Dirimu
Aku adalah aku karena bukan dirimu
Dirimu adalah dirimu karena bukan diriku
Namun aku dan kamu ………
Waktu telah berjalan kemudian aku dan kamu menjadi kita
Dengan detak jantung kita melangkah beriringan
Dan kau lukiskan senyum  dalam wajahku
Saat ini waktu tlah tak lagi bersama kita
Aku pun kembali menjadi diriku
Kau pun kembali menjadi dirimu
Kita tlah tak ada …..
Yang ada hanya diriku dan dirimu
Dan kita tlah menggoreskan luka pada diriku dan dirimu……..


                                                                                                                Bandung,  050435
 



   

Dec 17, 2012

WISH YOU WERE HERE…….



WISH YOU WERE HERE…….


Dag dig dug jantungku terasa kencang sekali, teramat kencang malah. Seluruh tubuhku panas oleh aliran darah yang deras. Hape masih dalam genggaman erat tanganku. Beberapa kali kupencet no itu, tapi saat itu juga jantungku berdegup tambah kencang, sehingga akhirnya selalu ku “cancel” sebelum telepon sempat nyambung. Ada apa denganku? Mirip sekali dengan lagunya Peterpan “Ada Apa Denganmu?”. Aku hanya bisa terdiam, dan terus memikirkannya, kalimat di SMS itu sungguh membuatku tak berdaya. Sekeliling dinding kamarku turut membisu, langit-langit menatapku penuh tanya. Wajahnya memenuhi seluruh pikiranku. Apakah ini yang namanya rindu? Aku merindukannya? Hah, aku merindukannya? Benarkah? Oh, malam yang begitu panjang…
 Pagi ini matahari malu-malu menampakkan dirinya, sedikit mendung. Bangun tidur yang kucari adalah hape kesayanganku, sambil duduk diteras belakang menikmati matahari yang sedikit mengintip-intip dibalik awan. Udara  di Dago Utara masih segar, angin pagi yang menyusup kedalam pori-pori alangkah menyejukkan. Embun-embun sisa malam menetes satu persatu membasahi tanah. Pepohononan dikanan kiri jalanpun masih setia meneduhkan dikala tengah hari. Dari teras belakang rumah Ibu kost terlihat jelas perumahan elite Resor Dago Pakar yang tertata apik. Ah, aku malu sekali pada matahari, andai saja dia tahu perasaanku saat ini…
“Loe dah makan, nyari makan yuk?”, suara itu membuyarkan lamunanku. Tiba-tiba Adjie dah nongol dibelakangku dengan segelas susu coklat dan koran.
Belum sempat kujawab pertanyaan Adjie, dia sudah ngomong lagi “Jangan bengong mulu, ntar kerasukan setan baru tahu rasa loe”, sambil menyodorkan susu padaku.
“Siapa yang bengong, gua lagi menikmati langit pagi Djie”, jawabku sambil menyambut segelas susu coklat yang dibawa Adjie. Adjie duduk disebelahku, membuka lembaran-lembaran koran. Kuintip koran yang lagi dibaca Adjie, Headline-nya kali ini soal pengacara Puteh yang melakukan aksi suap menyuap dan tertangkap KPK. Sekilas  saja Adjie membolak-balik korannya, lalu dilemparnya keatas meja. Adjie menyeruput susu yang sudah kuminum juga.
“Makan yuk”, kalimat itu keluar lagi dari mulutnya, sementara aku masih asyik menikmati pemandangan pagi yang mendamaikan.
“Belum mandi”, kataku singkat.
“Gua juga belum mandi, dah pergi yuk, laper nih”. Adjie menyeretku keluar dari kursi. Aku gak bisa menolak ajakannya. Adjie masuk kamarnya mengambil kunci motor juga jaket, aku masih memakai baju tidur dibalut sweater, kitapun pergi ke Kantin Dago langgananku sejak SMU.
Adjie mahasiswa Teknik Industri-ITB, semester akhir. Dia orang Jakarta, Ibunya campuran Bandung_Belanda, Bapaknya asli Jawa, tapi dia lahir dan besar di Jakarta, baru saat kuliah dia ke Bandung. Aku baru kenal Adjie 6 bulan yang lalu, saat aku pindah kost ketempat dimana Adjie juga kost. Tapi baru dua bulan ini kita dekat, sering pergi bareng, makan bareng, tak jarang kita pulang kuliah bareng. Kebetulan kita satu kampus, aku ngambil Desainer Interior satu tingkat dibawah Adjie. Orang tuaku tinggal di Jambi, sejak SMU aku tinggal di Bandung. Orang tuaku asli Bandung, sejak aku kecil Papa sudah tinggal di Jambi sebagai dokter Urologi disana, katanya di Jambi dokter Urologi lebih dibutuhkan ketimbang di Bandung atau Jakarta. Jadilah Papa mengabdikan dirinya di Jambi. Aku tinggal sendiri sejak SMU di Bandung, orang tuaku sangat demokratis, mereka memberikan kebebasan dan kepercayaan sepenuhnya padaku. Meskipun aku anak tunggal tapi Mama dan Papaku tidak biasa memanjakan anaknya secara berlebihan. Tiap dua minggu sekali Mama dan Papa datang menjengukku ke Bandung, aku sangat bangga punya orang tua seperti mereka, dan aku sangat bahagia.
Lain lagi dengan Adjie, katanya dia anak yang tidak sengaja diinginkan oleh orang tuanya. Lho kok? Ibunya gagal KB saat usia kakaknya Adjie masih berumur tiga bulan, kemudian hamil lagi, ya si Adjie ini. Merasa bukan anak yang diharapkan oleh orang tuanya, Adjie jadi agak sedikit cuek. “Aku bukan anak yang mereka dambakan, Ya”, katanya suatu ketika saat kita makan di LC Restaurant. Aku mencoba membesarkan hatinya, toh sekarang orang tuanya sangat menyayanginya, terlebih Adjie anak laki satu-satunya.
Adjie ngambil nasi hampir dua sendok nasi dengan lauk tempe bacem dan pecel telur kesukaannya, katanya dia laper sejak semalam gak makan jadi porsinya double. Aku makan pake capcay dan ayam goreng, dengan nasi hanya setengah sendok.
“Gimana mau besar tuh badan kalo makannya cuma porsi bayi”, ledek Adjie melihat makanku yang selalu sedikit, aku memang gak bisa makan banyak.
“Aya, loe kalo gua bopong pasti ringan banget ya kayak kapas”, ledeknya lagi. Aku sih cuek aja, sudah biasa diejek sama Adjie. Dia kalo ngomong emang suka saenak’e dewek. Sambil makan kita ngobrolin soal UAS yang tinggal beberapa hari. Dia juga lagi stress mikirin kuliahnya, targetnya tahun ini dia harus beres kuliah. Ya, semoga aja Djie…
Gak terasa ngobrol ngalor ngidul, makanan dipiring Adjie sudah raib masuk perut semua. Aku masih menyelesaikan sisa-sisa makanan yang masih beberapa suap.
“Aya, gua perhatiin belakangan ini loe kok banyak ngelamun, kenapa sih?” Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan Adjie. Kok dia bisa tahu aku banyak melamun, tanyaku dalam hati. Beberapa hari ini aku lagi kangen berat sama Mama.
“Nggak ah, biasa aja. Sedikit kepikiran UAS sih”, jawabku enteng.
“Alaaahhh, UAS aja pake dipikirin, ntar cepet tua lho kalo banyak mikir”. “Meskipun tua, gua yakin pasti tetep cantik, gua pada dasarnya emang cantik, ya kan Djie?”, candaku pada Adjie. Adjie memanyunkan bibirnya tanda ngeledek.
Tiba-tiba Adjie menatapku serius dan bertanya “Aya, gua ganteng gak?”. Aku tertawa ngakak dengar pertanyaan Adjie.
“Bukannya ganteng, tapi loe item Djie, ha ha ha…”, aku balas ngeledek.
“Tapi manis kan, Ya?”
“Emang gula, pake manis segala?”, timpalku. Aku lari keluar kantin mengarah kemotornya Adjie, Adjie mengejarku, tangannya megacak-ngacak rambutku yang kubiarkan tergerai sebahu.
“Djie, jangan ngebut ya, gua belum mau mati”, pesanku sebelum Adjie menghidupkan motornya.
“Siap Boss”.
Sampe di kost-an, Adjie langsung nyuci motornya yang sudah cukup dekil, ntah berapa lama tak dicucinya motor itu.
“Djie, gua ikut ngeprint ya, printer gua lagi ngadat tuh”.
“Pake sono, nih kuncinya”, Adjie melempar kunci kamar kearahku.
“Ups, hampir saja kena muka gua”.
“Sorry Ya, gua gak sengaja”, celoteh Adjie tanpa dosa sambil terus menyikat ban motor. Aku pergi kekamarku ngambil bahan, lalu menuju kamar Adjie.
“Busyet, ini kamar, apa kandang ayam, berantakan banget”.
Buku, sepatu, helm, jaket, topless susu, tercecer dimana-mana, ya ampun. Aku paling gak bisa liat kamar berantakan, seperti kamar Adjie yang susah dipake untuk melangkah, belum lagi kasur yang semrawut. Satu demi satu aku rapikan, aku simpan ditempatnya. Hampir 20 menit aku merapikan kamar Adjie. Sekarang sudah rapi, aku bisa ngeprint. Aku mulai ngeprint, selembar demi selembar. Kulihat photo Adjie diatas meja komputer, berukuran 10R diblock. “Ganteng juga”, gumanku dalam hati. Badan Adjie tinggi besar, hidung mancung, rambut yang selalu dicepak, makin mirip saja wajahnya dengan Keanu Reeves, meskipun kulitnya agak gelap. Tapi yang paling kusuka adalah matanya yang bagus. Tajam. Mendebarkan. Oh. Lama kupandangi photo itu.
“Wah, asyik nih kamar udah rapi, thanks ya”, Adjie sudah nongol diambang pintu. Adjie menghampiriku dengan tangan yang masih basah, lalu menyipratkannya kemukaku, terang aja aku menjerit, mukaku jadi ikut basah. Kuseka mukaku dengan tissue, kulemparkan tissue bekas nyeka mukaku kemuka Adjie, Adjie membalasnya dengan melempar bantal kearahku, tepat sekali sasaran Adjie, bantal mendarat persis dimukaku. Kalau udah bercanda kadang Adjie memang suka kelewatan.
Aku menyelesaikan ngeprintku yang tinggal beberapa lembar. Adjie rebahan dikasur yang sudah kurapikan tadi.
“Aya, bikinin gua kopi dong, capek nih”.
“Enak aja main perintah-perintah, emang gua pembokat loe?”
“Tolong dong nona manis, abang haus nih?”
“Gak lucu”, jawabku ketus.
“Ayo dong…”.
Aku membereskan kertas-kertasku, lalu mematikan komputer. Kemudian beranjak menuju rak makanan Adjie dan membuat kopi, ehm harum sekali. Sayang sekali aku gak bisa minum kopi karena penyakit maag-ku pasti kumat, meskipun hanya minum seteguk.
“Monggo Tuan Raja, kopinya sudah siap”, kataku pada Adjie sambil kusodorkan secangkir kopi kearahnya.
“Matur nuwun ya Mbok”, jawabnya.
“Sialan gua dipanggil Mbok”. Adjie ngakak mendengar aku ngedumel.
“Gua mandi dulu ya, Ya”, Adjie masuk kamar mandi. Aku masih dikamar Adjie melihat lukisan-lukisannya. Adjie memang hobi melukis, katanya ada garis dari Mbah Kung-nya yang jago ngelukis. Bukan sekali ini aku melihat-lihat lukisan Adjie, hampir setiap kekamar Adjie, aku pasti memperhatikan lukisan-lukisan Adjie dengan seksama, lukisannya enak untuk dipandang, gak bikin bosan. Eit, aku terpana dengan satu lukisan yang baru pertama kali ini aku lihat, lukisan seorang wanita, kayaknya aku tidak asing dengan wajah wanita dilukisan ini. Sepertinya Adjie baru melukisnya, biasanya tiap kali ada karyanya yang baru dia pasti memamerkannya padaku. Tapi tunggu, kok inisialnya MA? Di setiap lukisannya Adjie selalu membuat inisial DHKA, nama lengkapnya kan “Deru Hyrf Kusumo Adjie”, Dua kata terakhir itu sangat Jawani sekali. Ah entahlah, emang gua pikirin.
“Ya, mandi gih. Seger kalo dah mandi, cepet”, Adjie dah keluar dari kamar mandi.
“Bentar lagi, masih panas”, jawabku.
“Cepet, sekarang. Dah jam dua tuh. Kita pergi kebawah, jalan-jalan, cepetan”.
“Emang mau kemana Djie?”
“Jalan-jalan lah Ya, mumpung kita libur. Senin besok dah harus ujian, sekarang saatnya nyantai dulu, ayolah!”.
“Apa perlu gua mandiin kayak motor tadi, gua sikat?”, katanya lagi.
“Gila loe ya nyamain gua sama motor”, aku masih duduk melihat-lihat lukisan Adjie.
“Aya, cepetan. Gua kasih waktu 15 menit untuk mandi”, Adjie sedikit memaksaku.
“Nggak ah, males. Kalo mau pergi, pergi aja sendiri, gua males, pengen tidur”,
“Dasar tukang molor”, tiba-tiba handuk basah bekas mandi Adjie mendarat dikepalaku.
“Jorok”, aku melemparkan kembali handuk kearah Adjie.
Di kost-an aku sama Adjie memang terkenal kayak kucing sama anjing kalau sudah ketemu. Temen-temen kostku malah ada yang menjuluki kita Tom & Jerry.
“Ayolah Ya, temenin gua jalan, ntar gua traktir deh”, kalimat Adjie sedikit merayu. Sebenarnya aku males keluar rumah, tapi Adjie memaksaku terus, gak ada salahnya  pergi nemenin dia.
“Gua mandi dulu, tapi entar traktir gua makan di restoran Jepang, ok?”.
“Ok, loe mau dimana aja gua traktir. Cepetan mandinya, jangan lebih dari 15 menit”.
“Emangnya gua bebek, cuma dengan byur byur terus udah”, aku keluar dari kamar Adjie, lalu madi. Selesai mandi kuambil jeans biru dan kaos putih dilapis jaket biru muda, rambut kukuncir.
Empat puluh lima menit kemudian aku nongol lagi dikamar Adjie, sudah sejak tiga puluh menit yang lalu Adjie terus kirim SMS padaku, isinya: cepetan, cepetan. Aku sih cuek aja, nyantai.
“Lama banget sih”, kata Adjie sambil menyodorkan helm padaku.
“Mandi itu perlu bersih Djie, buru-buru gak baik”.
Adjie gak nyahut, kita lalu pergi. Motor Tiger 2000 warna hitam yang sudah tidak utuh lagi itu melaju melintasi jalan Dago, dengan suaranya yang membuat orang nutup telinga.
Pas setopan lampu merah persimpangan Sulanjana Adjie berbisik padaku “Ya, loe cantik banget hari ini, baju yang loe pake cocok”. Aku tertawa lepas denger pujian Adjie.
“Sejak kapan loe pintar ngegombal Djie?”
“Serius Ya, swear!”
Adjie orangnya cuek abis, nggak pernah dia memujiku. Kalaupun aku minta pendapatnya tentang penampilanku, yang ada dia pasti meledekku bukannya memuji. Sepanjang jalan aku mentertawakan Adjie, sementara Adjie masih saja serius dengan terus memuji penampilanku kali ini.
 Adjie membelokan motornya ke Bandung Indah Plaza. Setelah memarkirkan motornya di basemant, Adjie terus melangkah menuju lantai atas. Aku mengikuti saja tanpa banyak tanya, berjalan disampingnya. Oo, ke bioskop rupanya.
“Ya, mau nonton apa?”
“Kok gak bilang-bilang kalo kita mau nonton?”
“Surpraise dong, Ya!”
“Terserah Adjie aja, gua ngikut”.
“Robert De Niro ini kayaknya bagus”, kata Adjie sambil menunjuk film Hide and Seek. Aku ngangguk menyatakan setuju. Adjie ngantri tiket, aku nunggu disebelah Adjie.
“12-13A mbak, yang dipojok”, Adjie minta tiket paling belakang.
Studio 1 tempat kami akan masuk belum dibuka, sambil nunggu kami turun ke swalayan beli soft drink dan makanan ringan. Naik lagi keatas studio sudah dibuka, kamipun masuk. Kami duduk dipinggir paling belakang.
Didepan kami ada bapak-bapak yang ngajak nonton anaknya, empat orang, tapi tanpa Ibu. Kemana sang Ibu ya? Filmpun dimulai.
Komentar Adjie pertama saat lihat film itu, keindahan alam yang begitu menakjubkan juga sorot mata tokoh anak kecil, “Matanya bagus ya Ya, hijau”.
Aku membantah, “Abu, bukan hijau”.
Kamipun serius dengan menyimak alur cerita, kepala Adjie menyender dibahuku. Kusodorkan minuman padanya.
“Ya, ada yang mau gua omongin”, Adjie berbisik.
“Apaan?”
“Bentar”, Adjie ngambil hape dari sakunya, rupanya ada telepon. Adjie pamit kebelakang sebentar untuk nerima telepon. Gak lama Adjie kembali. Dia terdiam sejenak.
“Ya, Mbah gua meninggal”, suaranya agak tersendat.
“Innalillahi, kapan Djie?”, aku tersentak kaget.
“Tadi pagi, barusan kakak gua nelpon”. Adjie kembali terdiam dengan seribu bahasa. Konsentrasi nontonku jadi buyar seketika.
“Sabar ya Djie”, aku berusaha membesarkan hatinya.
“Adjie mau pulang? Ayo kita pulang aja”.
Adjie ngangguk, “Ya, peluk Adjie bentar dong”, suaranya agak lemas. Adjie menarik tanganku supaya memeluknya, dadaku berdegup sangat kencang. Gak biasanya Adjie seperti ini. Hatiku jadi nggak karuan. Mungkin Adjie begitu terpukul dengan kepergian Mbahnya, sehingga dia butuh tempat untuk berbagi. Tidak lebih dari sepuluh menit aku memeluk Adjie.
“Pulang yuk Ya”, aku ngangguk dengan perasaan yang masih terkaget-kaget. Kamipun keluar studio, film kami lupakan.
Diluar studio Adjie ngajak makan dulu sebelum pulang ke kost-an. Kami gak jadi makan di restoran Jepang sesuai permintaanku, kami makan di McD yang dekat, karena Adjie harus pulang ke Jakarta hari ini juga.
Baru kali ini aku liat Adjie begitu down. Adjie memang cukup dekat dengan Mbahnya itu. Selama makan Adjie gak banyak ngomong, sesekali dia menatapku, aku hanya tersenyum.
Kamipun pulang. Sepanjang jalan Adjie membisu. Sampai dikost-an aku ikut masuk kekamar Adjie, karena Adjie mau langsung pergi ke Jakarta. Adjie memasukkan dua lembar baju kedalam ranselnya. Tubuhnya dibalut jeans belel warna biru muda, dipadan kaos  hitam juga jaket dengan warna senada jeansnya. Tegap sekali badannya, pujiku.
“Djie, gua turut berbela sungkawa ya. Sorry gua nggak bisa ikut melayat”.
“Hati-hati ya, jangan ngebut”.
“Ok, Boss!” Adjie menggendong ranselnya lalu memakai sepatu.
“Ya, gua balik dulu ya”, pamit Adjie sambil mengecup keningku, lagi-lagi aku kaget dengan tingkah Adjie yang sedikit. Biasanya kalo mau pergi dia selalu ngacak-ngacak rambutku.  
“Ok. Hati-hati. Kalo dah nyampe kabari gua ya!”
“Yup”.
 Adjie pergi dengan motornya, aku terus memandanginya sampai menghilang dari pandanganku.
Malam ini begitu sepi, sesekali terdengar suara motor dan mobil diluar sana memecah sunyi. Aku nongkrong dijendela kamarku berharap ada meteor jatuh. Di sebrang sana kerlap-kerlip lampu  kota Bandung bagaikan kunang-kunang, terlihat jelas dari kamarku, indah sekali. Tuhan, sempurna sekali Engkau menciptakan ala mini.
Jam sembilan lewat hapeku bunyi, aku terima SMS dari Adjie: ‘Ya, gua dah nyampe’. Syukurlah Adjie dah nyampe di Jakarta dengan selamat.
Tengah malam aku terima SMS lagi dari Adjie: ‘Ya, gua punya utang ama loe makan di restoran Jepang. Gua pasti bayar utang itu. Ya, gua bikin lukisan buat loe, tadinya mau gua kasih saat kita pulang nonton tadi. Ya, sorry kalo gua jutek ama loe selama ini. Gua sayang loe, Gua mencintai loe Ya. Tunggu gua balik ya, Ya!”.  Aku kaget baca isi SMS dari Adjie. Oh my God. Dadaku berdebar. Hape masih dalam genggamanku, aku gak tahu harus menjawab apa. Bibirku kelu, tak sepatah katapun keluar dari mulutku.
Jendela kamar masih terbuka lebar, dingin menyusup keseluruh dinding. Malam semakin menanjak menjemput pagi, tapi mataku gak bisa dipejamkan barang sedetikpun. Pikirannku terus tertuju pada Adjie, Adjie yang cuek, Adjie yang selalu bikin aku marah, Adjie yang nyebelin.  Pantas saja belakangan ini Adjie sering memperhatikanku, menelponku untuk sekedar menanyakan sudah makan atau belum, membawakan makan siang atau makan malam kalau kebetulan aku belum sempat keluar nyari makan. Nggak jarang Adjie membantu mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Ah, Adjie… Aku tiba-tiba begitu merindukannya, andai saja saat ini kau ada disisiku. Selama ini aku bersahabat dengan Adjie, tapi sekarang dia nembak aku. Dan inisial dilukisan itu MA, Masyayu Anastasia, namaku kah? Kecupan itu, pelukan itu, Oh Adjie….. wish you were here…..




Dago, Juni 2008