Sudahkah
kalimat “terima kasih” selalu terhadiahkan kepada setiap orang yang pernah
membantu Anda? Jika ya, maka Anda tak perlu khawatir, karena saya tidak sedang
berbicara tentang Anda. Tapi tentang orang-orang di sekitar kita, dan mungkin
saja termasuk saya.
Nyaris
setiap hari, setiap detik, menit dan jam dalam hidup kita
selalu dibantu oleh pihak lain, disadari atau tidak. Sejak awal bangun pagi,
sudah ada pembantu yang memasak air panas untuk menyeduh kopi, bahkan kopi
sudah tersedia sebelum kita beranjak dari tempat tidur. Berangkat ke kantor
dengan pakaian yang tidak kusut, tentu ada yang menyetrikanya. Sepatu pun sudah
disemir mengkilap, bukan bim salabim kan ? Sampai sarapan sudah siap tersaji di
meja makan sebelum kita meminta. Bukan soal siapa yang menyiapkannya, bisa jadi
sang isteri lihai nan sigap (bagi yang sudah menikah) yang
melakukan itu semua, atau pembantu kita yang super hebat ataupun keluarga kita lainnya. Tapi terpenting dari soal siapa
adalah, berterima kasihkah kita untuk setiap pelayanan memuaskan itu?
Keluar
dari rumah, entah dengan sopir pribadi yang telah mencuci bersih mobil dan
menyiapkan kendaraan agar tak ngadat di jalan, sehingga kita tak terlambat tiba
di kantor. Atau bagi orang yang harus menggunakan jasa angkutan umum untuk dari
dan ke kantor, pernahkah kalimat “terima kasih” juga terucap kepada kondektur
atau sopir angkutan umum yang kita tumpangi?
Tiba di
kantor, tak perlu bertanya siapa yang sudah datang lebih pagi membersihkan meja
kerja yang kemarin sore kita tinggalkan dalam keadaan kotor dan berantakan. Air
putih atau teh hangat sudah tersedia di meja kerja, bahkan menjelang siang pun
kita masih berteriak, “Jang, kopi susu donk,” kepada office boy yang
setia melayani. Apakah si Ujang pelayanan setia kita di kantor itu selalu
mendapatkan hadiah “terima kasih” untuk air putih dan kopi susu yang ia
sajikan? Walau pun ia tahu, menuntut ucapan “terima kasih” bukanlah haknya.
Rasanya,
nyaris seluruh hidup kita dari pagi sampai pagi kembali selalu dibantu orang
lain. Bahkan di rumah pun, saat lelah menyengat sepulang kerja, ada Ibu kita yang selalu siap menyiapkan kebutuhan kita, sudahkah kita
berterima kasih kepada Ibu kita?
Saya pun
tergelitik untuk menghitung berapa banding berapa antara pelayanan yang saya
dapatkan dengan ucapan terima kasih yang terlontar. Saya sering lupa berterima
kasih kepada mereka yang telah membantu setiap aktifitas saya,
mungkin ini karena ke egoan diri. Saya sering lupa berterima kasih
kepada petugas pom bensin yang sering mengisi full tangki motor saya.
“Itu memang pekerjaannya, dan kewajiban saya sudah selesai hanya dengan
memberikan sejumlah uang sesuai jumlah bensin terisi,” mungkin begitu pikir
nakal saya. Mana rasa terima kasih saya?
Kita
sering kali berpikir, bahwa orang-orang yang memberikan bantuan dan pelayanan
sehari-hari itu memang sudah selayaknya dan kewajiban mereka berbuat demikian. saya analogikan sebagai berikut : Isteri dan anak-anak, misalnya.
Wajib memberikan service penuh karena kita merasa sudah lelah seharian
bekerja, “Toh gaji sebulan saya bekerja singgah di dompet isteri,” begitu
alasan kita. Pembantu rumah tangga yang seringkali tak kenal lelah bekerja dari
pagi hingga kembali pagi, dinilai “wajib” mengerjakan semua pekerjaannya karena
kita merasa sudah membayarnya. Padahal, nilai bayarannya seringkali tak layak
dan jauh dari beratnya pekerjaan yang diemban. Bukankah pembantu hanya
membantu? Lalu kenapa semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya? Tak
pantaskah ia memperoleh ucapan terima kasih dari kita?
Ujang
sang office boy kantor yang tak pernah menolak permintaan kita,
percayalah, “terima kasih” yang kita ucapkan saat ia mengantarkan segelas air
putih atau teh hangat akan membuatnya senang setiap kali kita memintanya
kembali. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu akan sedikit menghiburnya dari
kemurungan setiap kali menerima upah bulanannya yang tak seberapa dari gaji
kita. Bahkan ada sopir angkutan umum yang termangu sesaat hanya karena
mendengar ucapan terima kasih saat penumpang memberikan ongkos. Bisa jadi, ia
baru saja menemukan manusia langka. Atau jangan-jangan, itu kalimat “terima
kasih” pertama yang ia dapatkan sepanjang tahun berprofesi sebagai sopir
angkot.
Sudahlah
tak pernah berterima kasih, kadang kita menambahi sikap kita dengan banyak
menuntut. Merasa sudah membayar gaji pembantu, kemudian kita berhak membentak-bentak
wanita berbayaran kecil itu hanya karena masih ada sedikit noda di kemeja. Kita
juga marah-marah kepada office boy yang lambat mengantarkan minuman, atau
kepada sopir angkot yang secara tak sengaja melewatkan beberapa meter saja dari
tempat berhenti kita semestinya. Lalu, kita memberikan ongkos dengan hati kesal
dan wajah kecewa.
Tak
pernah merasa puas dengan apa yang sudah orang lain lakukan untuk kita, dan
kita senantiasa menuntut lebih dari orang lain. Meminta orang lain melakukan
lebih banyak, lebih baik, lebih sering dari yang sudah dilakukannya. Orang lain
melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita lebih dulu
marah, dan kemudian lupa mengucapkan terima kasih. Ucapkanlah terima kasih
lebih dulu, baru kemudian beritahu kekurangan atau kesalahan secara baik-baik.
Dijamin, mereka akan mengerjakannya lebih baik tanpa wajah merengut.
Tidak
berterima kasih dan banyak menuntut adalah sebuah circle, keduanya
saling berkait berkelindan. Biasanya kedua sikap ini tidak terpisahkan, setiap
kali kita tidak berterima kasih, mesti diiringi dengan tuntutan. Atau
sebaliknya, setiap kita mengajukan tuntutan, hasil yang kita dapatkan dari
tuntutan itu kita anggap sebagai hak. Karenanya, “terima kasih” tak perlu
terucapkan.
Ironisnya,
budaya buruk ini pun kita berlakukan terhadap Allah. Kita terus menerus berdoa
dilimpahkan rezeki. Hanya karena rezeki yang didapat hari ini tidak berlimpah,
lalu dalam doa selanjutnya kita berujar, “Ya Allah, kok cuma segini?” Sungguh,
bersyukur dan bersabar lebih menjauhkan kita dari ancaman azab dan siksa
dari-Nya. ***
No comments:
Post a Comment
Ayo semua...
jadikan hidup kita lebih berarti dan bermanfaat bagi kita
bagi dunia kita...
salam selalu untuk Kalian...