Jan 9, 2013

PENGEMBANGAN PROGRAM DAN MEDIA BIMBINGAN DAN KONSELING



  
KARAKTERISTIK PROGRAM BIMBINGAN KOMPREHENSIF

  • .       Perkembangan yang konsisten dan cermat
  • .       Meliputi layanan pengembangan, preventif, remedial dan korektif
  • .       Diarahkan untuk memenuhi kebutuhan klien / konseli
  • .       Berorientasi pada tujuan dan akuntabel
  • .       Terintegrasi dalam kurikulum sekolah,  melengkapi aktivitas sekolah lainnya
  • .       Seimbang, dan menekankan pada empat bidang layanan bimbingan (akademik, pribadi, social, dan  karir)
  • .       Menentukan layanan-layanan yang harus diupayakan :

a.       Orientasi,
b.      Informasi,
c.       Konseling, dsb.
  • .       Memanfaatkan seluruh staf sekolah sesuai dengan perannya
  • .       Menciptakan suatu atmosfir kerja sama / tim kerja

1  Harus fleksibel
11.   Mempertimbangkan : usia, lingkungan, budaya, gender, status ekonomi, dsb.
12.   Memberi keuntungan bagi seluruh siswa
13.   Harus dapat dicetak dan ditampilkan




DEFINISI PROGRAM

Seperangkat kegiatan yang saling berkaitan (interdependensi) yang diarahkan untuk mencapai tujuan atau sejumlah tujuan.

PENGEMBANGAN PROGRAM

Suatu proses  sistematis yang meliputi langkah-langkah sekwensial : persiapan, pengembangan, penerapan / pelaksanaan program tersebut




 Organizing meliputi :      - Membangun suatu komite penasehat
                                    - Mereviu program BK saat ini dengan komite

 Planning meliputi :         - Reviu data yang ada
                                    - Mengidentifikasi kebutuhan dan menetapkan prioritas
                                    - Menetapkan sumber-sumber yang diperlukan

 Designing meliputi :        - Mengembangkan rencana tertulis yang leiputi tujuan, sasaran dan evaluasi
                                     - Memasukan ketentuan khusus untuk anak yang berkebutuhan khusus
                                     - Mengidentifikasi kompetensi siswa untuk program

Implementing meliputi : - Menyiapkan program layanan yang terorganisasi
                                  - Mengikuti kalender aktivitas yang telah direncanakan

Evaluating meliputi :       - Evaluai program, pencapaian kompetensi siswa, dan personil
                                   - Menggunakan data untuk perubahan dan perbaikan/peningkatan
                    
                                              

Sumber Redaksi : catatakan Kuliah dan catatan kerja BK        

Jan 8, 2013

Surat untuk Sahabat

saya datang bersama sepasang sepatu
bukan sendiri tapi bersama-sama
selalu bersama-sama
saya tidak bisa pulang, tidak bisa pergi tanpa sepatu
sepatu saya, cinta saya, cinta sepatu saya

sepatu kiri saya senang menari
sepatu kanan saya senang bernyanyi
setiap malam kami berlatih nyanyian baru
setiap hari kami ciptakan tarian baru
bersama-sama kami akan memukau dunia

suatu hari datang seekor lintah hinggap di sepatu kiri saya
menghisap darahnya sampai habis
satu minggu lamanya sepatu kiri tidak menari
hingga akhirnya sepatu kiri mati
sepatu kanan saya berduka lara, tidak mau lagi bernyayi
sesekali bersenandung lagu kematian

satu minggu lamanya ia tidak bernyanyi
hingga suatu pagi ia putuskan untuk akhiri hidupnya
mengikat lehernya dengan tali sepatu
dua sepatuku wafat sudah
dan kini aku berjalan
disini
sendiri
tanpa sepatu
betapa hatiku takkan pilu......

"Gugur Sepatu" - Tika And The Dissidents 





dari balik jendela ini

diruang yang gelap tak bercahaya

kuingin ungkapkan rindu yang kurasa

saat ini kau sudah menjadi dewasa

bangga hati ini melihat kau berdiri

dengan kebahagiaan yang indah

akupun ikut bahagia kawan

karena taukah itu sahabat

semua berasal dari kita

ketika ku jahat 

jahat pun juga hampiri

karena semua akan kembali kepada kita

saat ini, dan detik ini juga

aku rasa dekat dengan itu

awal kehidupan baru ini

harapan ku kau takan pergi

walaupun semua itu ada 

dan yakinlah itu ada

aku akan selalu bersamamu

wahai sahabat

suatu saat kau dan aku akan terpisah

jangan, aku harap jangan kau lakukan

jangan pergi dari mimpiku

hiasi terus dan temani aku

ingatkan aku untuk tegar

melangkah menuju sinar abadi

tuntun diriku dengan doa

karena yakinkan doamu berarti untukku

aku sayang kalian 

walau aku tau kalian tak harus kupaksa

untuk bisa sayang padaku

semoga tulisan ini berarti

menjadi awal dan akhir yang manis

untuk kita menempuh hidup baru

masa lalu pergi yang jauh 

kaki ini ingin sekali melangkah

tapi masih tak bisa senantiasa menunggu

dengan doamu sahabat

kurela untuk tinggalkan fatamorgana

terima diriku dan bimbing selalu

kurasaan semua berarti untukku

ingat ku kan slalu ada untukmu

semoga kita sama rasakan ini

oh sahabat, pintu itu sudah terbuka

maaf aku harus pergi 

sekejap mata memejam

harapan itu datang kembali

untuk terakhir kalinya 

sudilah menjadi temanku 

andai raga ini sudah terpaku

kuberdoa ditengah indah dunia

selamat tinggal sahabat


Repost from : Anaize Ratsuga 02/03/2008

dan aku duduk terdiam melamun, merindukan kicauan lazuardi pada awan yang tlah lama hilang..

selamat siang teman





saat mentari bahagia itu terik

aku yang setia menanti disini

terenguh dengan lamun ini

aku dan semua perasaan mengudara

merenggut sinar kebahagiaan

siang ditengah bulan ini aku berdiri

berjalan menuju satu pintu harapan

antara kenangan dan lamunan masa depan

kurasa satu dalam beban pikiran 

hantui bayang dan terasa aku jajaki

saat ini dan ditempat ini

aku sayang pada mereka

dan rindu seakan hantui mereka yang setia merasa

senyum bentak dan kicau menguap

memberi kesan dan maknai hari

saat itu, aku masih ingat jelas

mereka dalam kenangan

selama nyawa ini akan terjaga

memori itu selamanya 

menjadi penghias setiap senja hariku

lepas dan aku akan lepas 

tapi kenangan itu kan tetap ada

kenangan antara aku dan kalian

sahabat di siang itu aku bersumpah

andaikan aku diberi umur

aku akan berdoa untuk semua

biar kenangan itu abadi selalu

selamat siang sahabat.








bangun teman


ingatkah, aku pernah mengatakan ini

aku akan datang untuk bangunkan

saat matamu terpejam teman 

di jam 12 lewat beberapa detik saja

aku yang berlari menuju ruangmu

merengguh saku mengambil kunci itu

kunci persahabatan abadi

aku lihat apa ayo ?

benar, aku melihat kamu tertidur

dibuai mimpi kehidupan ini

sekarang aku berniat

aku berlari menyegarkan pikiran

lalu berontak menunggu waktunya

saat dimana aku akan hampiri

bangun teman aku datang

lupakan beban itu ayo !

aku dan semua harapan ini

inginkan kamu terbangun teman

tidurmu sudahi sampai disitu

aku tahu kamu berlari

jangan kau sakiti diri lagi

aku ada untuk dirimu

terimakasih teman


Repost from: Anaize Ratsuga Note 31/03/08

Jan 7, 2013

Pengorbanan Masa Depan



Ketika diri kita sudah terbiasa menghadapi berbagai macam rintangan dalam kehidupan, kita akan mengerti bahwa rintangan itu ada untuk dilewati, dan melewatinya perlu kerja keras dan kesungguhan. Dan bukan hanya itu, setelah kita berhasil melewatinya, kita akan mendapatkan kepuasan dan memperoleh nikmat sesudah kepayahan.

Saya teringat seorang teman yang pernah mengatakan bahwa betapa beruntungnya si anu yang diberi kemudahan oleh Allah dalam hidupnya. Pada waktu itu yang ia sebutkan sebagai kemudahan adalah: cepat lulus kuliah dan mudah mendapat pekerjaan. Si anu yang sedang dibicarakan memang baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan. Teman saya itu menceritakannya dengan maksud membandingkan dengan dirinya yang hingga waktu itu belum bekerja, dan sudah 3 bulan lulus dari kampus. Mendengar ia mengucapkan keluhan itu, saya berkata dalam hati, betapa ia tidak tahu berbagai kesulitan yang telah si anu lewati sebelum akhirnya Allah menurunkan rezeki sebuah pekerjaan untuknya. Saya mengenal si anu sama baiknya dengan teman saya itu. Si anu sudah dua tahun lebih lulus dari kampus, lebih dulu dari teman saya itu, dan belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Saya tahu upaya yang telah dikerahkan olehnya selama ini, dan berbagai sandungan yang ia alami. Ia pernah ditipu oleh seorang teman, dan akhirnya beberapa juta uangnya hilang. Ia pernah berusaha mendirikan usaha sendiri, namun akhirnya ditutup setelah setahun tak memberi hasil bahkan merugi. Ia sudah melamar ke mana-mana dan menjalani banyak sekali proses interview, tapi tak juga diterima. Dan banyak lagi yang sudah ia lakukan, dan menurut saya hal-hal itu tidak mudah.

akan selalu ada pengorbanan yang harus kita lakukan untuk mendapatkan sesuatu,
kelezatan iman akan terasa saat kita bisa mengorbankan sisi ego dan hasrat duniawi kita


Teman saya itu, tiga bulan setelah lulus, ia diterima bekerja sebagai seorang sekretaris pada sebuah perusahaan. Sejak itu saya tidak pernah menanyakan padanya, apakah sekarang ia masih mengatakan bahwa si anu sangat beruntung dan iri hati padanya. Dan saya pun tidak pernah lagi mendengar ia berkeluh-kesah tentang keberhasilan si anu.

Begitulah manusia. Sepertinya hal-hal yang berada di luar dirinya kelihatan jauh lebih baik dan bagus daripada yang telah ada padanya. Tidak pernah puas, sering lupa bersyukur, dan setiap kali mendapatkan sesuatu, ia pasti menginginkan hal yang lain lagi. Ibnul Qayyim pernah mengatakan bahwa sifat seperti itu memang selalu ada pada diri manusia. Sebab manusia memiliki kelemahan dalam syahwat yang bersemayam. Padahal di luar dirinya masih banyak sekali orang-orang yang mengalami penderitaan yang jauh lebih berat, sedangkan mereka masih bisa memaknai hidup dengan lebih positif. Bukankah pikiran yang membawa kita pada perbuatan? Dan akar dari pikiran adalah aqidah yang benar. Maka bila akar tersebut telah terpancang kuat, ia akan membentuk pikiran-pikiran positif yang mendorong diri kita untuk berbuat yang lebih baik dalam kehidupan. Tanpa harus memandang kiri-kanan dengan perasaan iri, dengki, bahkan akhirnya bernafsu untuk saling menjatuhkan.

Ujian yang datang kepada tiap diri kita tidak pernah sama. Ia akan turun sesuai porsi kemampuan kita menghadapinya. Semakin baik kualitas keimanan seseorang, maka semakin kencang pula badai menerpa. Hal ini pasti sudah diketahui banyak orang, tapi banyak orang sering lupa bila ia sendiri yang sedang menghadapinya. Menanggapi ujian yang datang dengan lapang hati memang tidak mudah. Tapi itu adalah salah satu cara untuk menjaga keikhlasan dalam diri untuk setiap perbuatan, dan meneguhkan diri untuk menang dari segala macam ujian itu.

Saya tidak tahu mau menyebutkannya sebagai apa, tapi menurut saya, bersyukur kala ujian datang akan memudahkan kita untuk berjuang melewatinya. Sebab ketika Allah menurunkan lagi sebuah ujian pada diri kita, saat itu harusnya kita tahu, bahwa Allah menyimpan sebuah kenikmatan lagi di baliknya. Bila kita lulus, maka kenikmatan itu akan terasa jauh berkali lipat. Sesuatu yang diperoleh dengan perjuangan biasanya akan terasa lebih indah. Dan kepuasan seperti itu tidak hanya akan berakibat kenikmatan dunia, melainkan juga merupakan saham pribadi untuk membuka pintu surga. Jadi, kita semua memang harus berjuang untuk menang.


Jan 5, 2013

Beratkah Berucap 'Terima Kasih'



Sudahkah kalimat “terima kasih” selalu terhadiahkan kepada setiap orang yang pernah membantu Anda? Jika ya, maka Anda tak perlu khawatir, karena saya tidak sedang berbicara tentang Anda. Tapi tentang orang-orang di sekitar kita, dan mungkin saja termasuk saya.

Nyaris setiap hari, setiap detik, menit dan jam dalam hidup kita selalu dibantu oleh pihak lain, disadari atau tidak. Sejak awal bangun pagi, sudah ada pembantu yang memasak air panas untuk menyeduh kopi, bahkan kopi sudah tersedia sebelum kita beranjak dari tempat tidur. Berangkat ke kantor dengan pakaian yang tidak kusut, tentu ada yang menyetrikanya. Sepatu pun sudah disemir mengkilap, bukan bim salabim kan? Sampai sarapan sudah siap tersaji di meja makan sebelum kita meminta. Bukan soal siapa yang menyiapkannya, bisa jadi sang isteri lihai nan sigap (bagi yang sudah menikah) yang melakukan itu semua, atau pembantu kita yang super hebat ataupun keluarga kita lainnya. Tapi terpenting dari soal siapa adalah, berterima kasihkah kita untuk setiap pelayanan memuaskan itu?

Keluar dari rumah, entah dengan sopir pribadi yang telah mencuci bersih mobil dan menyiapkan kendaraan agar tak ngadat di jalan, sehingga kita tak terlambat tiba di kantor. Atau bagi orang yang harus menggunakan jasa angkutan umum untuk dari dan ke kantor, pernahkah kalimat “terima kasih” juga terucap kepada kondektur atau sopir angkutan umum yang kita tumpangi?

Tiba di kantor, tak perlu bertanya siapa yang sudah datang lebih pagi membersihkan meja kerja yang kemarin sore kita tinggalkan dalam keadaan kotor dan berantakan. Air putih atau teh hangat sudah tersedia di meja kerja, bahkan menjelang siang pun kita masih berteriak, “Jang, kopi susu donk,” kepada office boy yang setia melayani. Apakah si Ujang pelayanan setia kita di kantor itu selalu mendapatkan hadiah “terima kasih” untuk air putih dan kopi susu yang ia sajikan? Walau pun ia tahu, menuntut ucapan “terima kasih” bukanlah haknya.

Rasanya, nyaris seluruh hidup kita dari pagi sampai pagi kembali selalu dibantu orang lain. Bahkan di rumah pun, saat lelah menyengat sepulang kerja, ada Ibu kita yang selalu siap menyiapkan kebutuhan kita, sudahkah kita berterima kasih kepada Ibu kita?

Saya pun tergelitik untuk menghitung berapa banding berapa antara pelayanan yang saya dapatkan dengan ucapan terima kasih yang terlontar. Saya sering lupa berterima kasih kepada mereka yang telah membantu setiap aktifitas saya, mungkin ini karena ke egoan diri. Saya sering lupa berterima kasih kepada petugas pom bensin yang sering mengisi full tangki motor saya. “Itu memang pekerjaannya, dan kewajiban saya sudah selesai hanya dengan memberikan sejumlah uang sesuai jumlah bensin terisi,” mungkin begitu pikir nakal saya. Mana rasa terima kasih saya?

Kita sering kali berpikir, bahwa orang-orang yang memberikan bantuan dan pelayanan sehari-hari itu memang sudah selayaknya dan kewajiban mereka berbuat demikian. saya analogikan sebagai berikut : Isteri dan anak-anak, misalnya. Wajib memberikan service penuh karena kita merasa sudah lelah seharian bekerja, “Toh gaji sebulan saya bekerja singgah di dompet isteri,” begitu alasan kita. Pembantu rumah tangga yang seringkali tak kenal lelah bekerja dari pagi hingga kembali pagi, dinilai “wajib” mengerjakan semua pekerjaannya karena kita merasa sudah membayarnya. Padahal, nilai bayarannya seringkali tak layak dan jauh dari beratnya pekerjaan yang diemban. Bukankah pembantu hanya membantu? Lalu kenapa semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya? Tak pantaskah ia memperoleh ucapan terima kasih dari kita?

Ujang sang office boy kantor yang tak pernah menolak permintaan kita, percayalah, “terima kasih” yang kita ucapkan saat ia mengantarkan segelas air putih atau teh hangat akan membuatnya senang setiap kali kita memintanya kembali. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu akan sedikit menghiburnya dari kemurungan setiap kali menerima upah bulanannya yang tak seberapa dari gaji kita. Bahkan ada sopir angkutan umum yang termangu sesaat hanya karena mendengar ucapan terima kasih saat penumpang memberikan ongkos. Bisa jadi, ia baru saja menemukan manusia langka. Atau jangan-jangan, itu kalimat “terima kasih” pertama yang ia dapatkan sepanjang tahun berprofesi sebagai sopir angkot.
Sudahlah tak pernah berterima kasih, kadang kita menambahi sikap kita dengan banyak menuntut. Merasa sudah membayar gaji pembantu, kemudian kita berhak membentak-bentak wanita berbayaran kecil itu hanya karena masih ada sedikit noda di kemeja. Kita juga marah-marah kepada office boy yang lambat mengantarkan minuman, atau kepada sopir angkot yang secara tak sengaja melewatkan beberapa meter saja dari tempat berhenti kita semestinya. Lalu, kita memberikan ongkos dengan hati kesal dan wajah kecewa.

Tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah orang lain lakukan untuk kita, dan kita senantiasa menuntut lebih dari orang lain. Meminta orang lain melakukan lebih banyak, lebih baik, lebih sering dari yang sudah dilakukannya. Orang lain melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita lebih dulu marah, dan kemudian lupa mengucapkan terima kasih. Ucapkanlah terima kasih lebih dulu, baru kemudian beritahu kekurangan atau kesalahan secara baik-baik. Dijamin, mereka akan mengerjakannya lebih baik tanpa wajah merengut.

Tidak berterima kasih dan banyak menuntut adalah sebuah circle, keduanya saling berkait berkelindan. Biasanya kedua sikap ini tidak terpisahkan, setiap kali kita tidak berterima kasih, mesti diiringi dengan tuntutan. Atau sebaliknya, setiap kita mengajukan tuntutan, hasil yang kita dapatkan dari tuntutan itu kita anggap sebagai hak. Karenanya, “terima kasih” tak perlu terucapkan.

Ironisnya, budaya buruk ini pun kita berlakukan terhadap Allah. Kita terus menerus berdoa dilimpahkan rezeki. Hanya karena rezeki yang didapat hari ini tidak berlimpah, lalu dalam doa selanjutnya kita berujar, “Ya Allah, kok cuma segini?” Sungguh, bersyukur dan bersabar lebih menjauhkan kita dari ancaman azab dan siksa dari-Nya. ***

Dec 19, 2012

Sudut Pandang Ru, Su, dan Zu (Pengkhinatan Su dan Kesedihan Zu)





*hari ini pukul 07.30 tanggal 19 juni 2009.. tepat saat Su dan Zu datang
hanya kata maaf itu yang aku tunggu, ya sebuah kata yang sederhana namun begitu luar biasa berat untuk diucapkan, mungkin sedari kecil kita secara tidak sadar untuk diajari bagaimana cara meminta maaf yang baik, namun kita tidak diajari untuk meminta maaf dengan tulus..

***

Kegusaran, keprihatinan, kekecewaan, mungkin juga kemarahan. 
Rasa itu mengitari pergulatan dalam dialektika diantara pikiran ku saat ini.

-apa maksud semua ini? 

Hari ini, gambaran yang dipaparkan jelas menggambarkan peristiwa yang sama. 
substansi yang tak jauh berbeda, membangkitkan emosi.

-hei, stop. mari berkaca Apakah kini orang-orang tak lagi mempersoalkan moralitas, etika?

whats?? apa hak kamu berbicara tentang pranata sosial?? dalam hal apa kamu berhak berbicara dalam norma dan kaidah?? 

- Apakah anda lupa tentang hak dan kewajiban? Apakah mereka juga lupa akan tata nilai dan rasionalitas?

Penghianatan itu begitu menyakitkan kawan, tapi ini realitas yang hadir sebagai dinamika.
Ini untuk ketiga kalinya,aku harus berhadapan dengan pengkhianat seperti anda, 
anda yang telah saya anggap saudara melebihi saudara kandung saya. 

- saya tidak mengerti? bisa anda jelaskan dan jangan gunakan bahasa sastrawi anda saat ini..

sesuatu yang berhadapan untuk urusan prinsipil,soal komitmen dan konsistensi serta resiko. 
Tak peduli bahwa saya akan kehilangan anda sebagai teman, kawan dan sahabat,
tak peduli jika memang harus berseberangan dan konfrontasi.

- apa dan tentang apa?

Kita bicara soal ucapan dan perbuatan, akal-mulut-hati harus linier, tidak bisa seenaknya untuk bertindak zig-zag.

- Tindakan apa dan perbuatan mana dari yang telah saya lakukan yang telah mengganggu eksistensi yang anda maksud?

nama baik, dan keutuhan cita-cita dan perjuangan bersama, saya pikir tiga kata itu mewakili semua pengkhianatan anda.

- mari kita bicara dalam bahasa yang lebih sederhana? 

sederhana? seandainya bisa.

*tak pernah aku lihat Ru sedemikian marah, aku lihat ia tenang. namun sorot matanya jelas memperlihatkan amarah yang tak akan padam, meskipun aku tau hanya permintaan maaf yang ingin ia dengar saat ini.. namun aku pada ke egoan ku, aku tak merasa bersalah dengan semua ini, dan ini adalah prinsip hidupku aku tak akan meminta maaf pada apa yang ku rasa tidak seharusnya aku meminta maaf. sampai akhirnya semua berlalu dan biarkan detik yang mengejewantahkan semua pada waktu dan sesuai pada garis Tuhan.

*dan seperti Ru memang marah, ia menggunakan kalimat yang sangat baku untuk ukuran seorang sahabat yang telah dekat satu sama lain.. 
diri ini ingen berkata, namun ku pendam dalam hati dan hanya menyaksikan apa yang mere perdebatan. karena merek pun tak memberi ruang untukku mengikuti alur mereka.
"Sebenarnya tak ada kaitannya dengan pelanggaran, penyimpangan terhadap misi yang harus diemban." 
Tapi ini soal sederhana yang akan berimbas pada tujuan perjuangan, soal taktik yang berbahaya dalam mencapai strategi. 
Ringkasnya taktik ‘makan’ strategi. Jika sudah demikan maka tak ada pilihan lain, 
kita yang ‘rusak’ atau hanya segilintir orang saja yang harus disingkirkan, 
pahit memang tapi ini demi untuk menyelamatkan cita-cita dan tujuan bersama.
Jika kita anti kekerasan maka kita harus tidak untuk bertindak dengan kekerasan
Jika kita bicara soal hak maka kita tak boleh sedikit pun memungut hak orang lain
Jika kita mendambakan kebahagiaan maka biarkan ia ada dalam kesejahteraan, kedamaian, 
kenyamanan, dan jauh dari ketakutan.

rasa persahabatan dan kedekatan yang terlalu mendalan antara Ru dan Su menyebabkan mereka tak bisa lagi menggunakan logika mereka untuk berpikir dengan jernih, hanya ada emosi yang bermain saat itu, sampai akhirnya mereka terkungkung dalam pelarian yang tak ber ujung dan meninggalkan bekas luka yang tak berakhir sampai detik ini.. 

Kemampuan menjalin relasi pertemanan merupakan bagian dari kompetensi interpersonal skill dan soft skill seseorang. lima aspek kompetensi interpersonal yaitu: a. kemampuan ber-Inisiatif (initiative): b. kemampuan menyangkal peryataan negatif (negative assertion): c. self disclosure: d. kemampuan ber-empati dan e. kemampuan manajemen konflik.

Kemampuan menjalin relasi pertemanan menjadi hal penting karena bagian dari keterpaduan soft skill yang harus dimiliki dalam menjalin interaksi sosial, baik di lingkungan masyarakat maupuan di lingkungan kerja dan keluarga.

Ketidak-mampuan seseorang dalam memiliki lima kemampuan dasar dalam menjalin relasi pertemanan, dimungkinkan akan berimbas pada berakhir suatu hubungan pertemanan dan rata-rata hal ini diakibatkan karena kurang mampu dalam poin d dan e

Tidak jarang dalam suatu pertemanan muncul berbagai konflik, karena diperlukan kemampuan untuk bisa saling mengisi dalam setiap aspek kompetensi diantara sesama teman, tapi perlu di ingat pula bahwa teman kita itu manusia, sehingga perlu disadari betul bahwa selalu ada ketidak sempurnaan dalam segala hal. pun demikian dalam pertemanan, jangan menuntut sebuah kesempurnaan, tapi saling melengkapi dan mengerti serta komunikasi,  itu saja sudah cukup.


end of Sudut Pandang Ru, Su dan Zu 

Pilihan


PILIHAN

Saudaraku,
Sendirian kadang lebih menyenangkan, Dalam kesendirian kita bisa merasakan kebebasan, dalam kesendirian kita bisa menarik nafas dengan lega, dalam kesendirian kita bisa berpikir dengan lebih jernih dan rasional, dalam kesendirian kita bisa melepaskan segala beban yang telah lama bertumpuk dalam diri kita, dalam kesendirian kita bisa  mengisi kembali energi untuk memulai hidup pada esok hari.  @@@Wew Efek depresi Berat nih…. Wakakakakakak
Saudaraku,
Kadang kita tak sadar dengan waktu yang kita buang dengan sia-sia, waktu kita habis karena kita menunggu sahabat yang kadang datang terlambat, terbuang karena obrolan tak bermutu yang sebenarnya hanya mengulang dari apa yang telah di katakan pada hari-hari sebelumnya, Tercuri oleh jalan-jalan melelahkan tanpa tujuan. @@@Wah Efek Gerhana Dalan Usia Senja ….
Saudaraku,
Hidup adalah pilihan, tak semua ajakan harus kita penuhi dan kita terima, target yang ingin di capai hendaknya harus bisa menjadi prioritas utama kita dalam mengambil keputusan antara menerima atau menolak ajakan yang di ajukan. Menolak tidak selalu harus di artikan sebagai pemutusan jalinan terhadap apa yang telah kita rangkai. Kadang menolak bisa di artikan sebagai bukti bahwa kita memiliki pendirian dan prinsip yang teguh. @@@ beuh sok Idealis padahalmah Pragmatis@@
Saudaraku,
Hidup adalah pilihan, kesalahan dalam menentukan pilihan akan menimbulkan penyesalan yang tiada akhirnya di masa depan kelak. Penyesalan datang ketika telah melakukan perbuatan, tak ada penyesalan yang terjadi pada awal cerita, ia akan datang pada akhir dari sebuah cerita. Karenanya selalulah berhati-hati dalam menentukan pilihan.

Malam Sunyi,
    MAlam Gelap

Ingatlah……
Penyesalan datang dari,
Waktu yang tak pernah bisa di ulang 


Sebuah penyesalan dari diri ini telah membawa seseorang kedalam dunia dimana diri ini sering untuk terluka, sedih dan tersayat ketika melihat dia orang yang disayangi terluka, rasa sesal itu..rasa sesal telah membawa dia kedunia yang penuh dengan perasaan emotional,,Diri ini terlalu egois untuk selalu ingin hadirkan dia dalam bayangan disamping diri ini.

Sampai akhirnya,, Berat dan terasa sulit untuk berikan yang terbaik untuk nya…sebelum penyesalan itu berlanjut dan membuat semakin terluka, diri ini ingin tuk pergi dari dunia dimana ia ada. biarkan ia kembali dengan dunia lalunya, dimana ia bisa tersenyum dan bahagia dengan semuanya tanpa hadirnya seorang PSYCHO, tidak terluka dan tidak bersedih…diri dan jiwa ini meminta maaf  telah menyeret seseorang kedalam Dunia yang terlalu Sulit untuk dimaknai. Diri ini hanya ingin ia tersenyum dan bahagia seperti saat ia pertama Dikenal…

Dan biarkan diri ini kosong dengan para kelelawar malam.karena mungkin disanalah kebahagian itu akan tertapaki, Dengan harapan setelah jiwa ini pergi ia akan tersenyum untuk kebahagiannya.

Last But Not Least
”Berat buat Nulis Ini,,tapi Mungkin Ini Pilihan Yang Terbaik”
“sebuah Rumah Sederhana Diujung sebuah Kota tua”
”bunga itu Mekar
  Bunga Itu layu”

*Repost from Fredy rakean masengjaya Ardiwinata : dlanor.blogdetik.com

Dec 18, 2012

JANJI ARYA . . .


JANJI ARYA . . .


“Neng, ada telepon”, seru Bi Sumi mengetuk pintu kamarku.
“Dari siapa Bi?”
“Dia hanya bilang dari temennya Neng Tiwi”
Aku keluar kamar menuju meja telepon diruang tengah.
“Hallo”.
“Hallo, Tiwi? Lama gak ketemu, apa kabar?”, sapa disebrang telepon sana.
“Ini siapa ya?”
“Masa lupa sih sama suara gua?”
“Siapa sih?”
“Masa lupa Wi?”
“Beneran, asli gua gak inget. Siapa sih loe, atau gua tutup nih telepon”, aku mulai kesal merasa dipermainkan. Tiba-tiba dia ngakak keras-keras.
“Ternyata loe masih seperti dulu ya Wi, judes”.
Ketawa itu! Aku ingat ketawa itu. Itu ketawa khas-nya Arya. Tapi apakah yang nelepon ini Arya? Benarkah?
“Arya?”, tanyaku singkat saja takut salah, tapi aku yakin sekali dengan ketawa tadi, gak mungkin salah itu ketawanya Arya.
“Betul Wi, gua Arya. Lupa ya?”
“Habis loe menghilang begitu saja bak ditelan bumi. Eh, loe dimana sekarang, masih di Bandung?”
“Gua kerja di Jakarta Wi, udah empat tahun. Sekarang lagi balik ke Bandung mudik lebaran. Eh lupa nih, Minal aidzin Walfaidzin ya Wi”.
“Sama-sama Ya”, jawabku singkat. Aku masih belum percaya Arya meneleponku.
Arya mantan pacarku selagi SMU. Lebih tepatnya cinta pertamaku. Begitupun dengan Arya, aku adalah cinta pertamanya. Kami berpacaran selama tiga tahun, dan berpisah sejak sembilan tahun yang lalu. Meskipun tinggal dalam satu kota, sejak berpisah kami tidak pernah bertemu lagi, hanya mendengar kabar selintas-selintas dari temen-temen. Pernah sekali Arya menelponku pada saat aku wisuda S1 Ekonomi Akuntansi_UNPAD. Entah dapat kabar dari mana Arya tahu kalau aku diwisuda saat itu.
Banyak kenangan yang kulalui bersamanya. Aku sudah dekat dengan keluarga Arya, begitupun Arya dekat sekali dengan keluargaku. Masih terlihat jelas dalam ingatanku saat ibunya Arya mengetahui kami akan berpisah, beliau menangis sambil memelukku.
“Nak Tiwi, Ibu sudah menganggap Nak Tiwi seperti anak Ibu sendiri. Jangan melupakan rumah ini ya Nak, sering-sering main kemari”.
Akupun tak kuasa menahan tangis. Tanpa sadar kulihat Arya juga menangis kemudian memeluk aku dan ibunya. Kami memang pisah secara baik-baik dan atas keinginan berdua.
Arya anak bontot yang sangat dekat dan disayangi ibunya. Dua kakaknya sudah mandiri, dan tidak tinggal serumah lagi dengan orangtuanya. Kak Anjar kerja dan tinggal di Jakarta, sedangkan Kak Luri ikut suaminya ke Padang. Sedangkan aku anak pertama dari dua bersaudara. Menurut kabar yang kedengar selepas SMU Arya kuliah di ITENAS ngambil Geodesi.
“Wi, kok diam. Gua kerumah ya, mau sungkem sama Mama dan Papa”.
“Ups, sorry”. Aku masih terbengong-bengong, pikiranku melayang kesebelas tahun yang lalu.
“Boleh gak nih gua kerumah? Mama sama Papa gimana kabarnya Wi?”
“Boleh, kerumah aja. Mereka sehat”.
“Tunggu gua ya Wi, se-jam lagi gua nyampe rumah loe”.
“Ok”.
Klik!! Telepon ditutup. Aku masih belum percaya kalau yang nelepon barusan adalah Arya. Aku masih duduk tediam dikursi sambil menggenggam gagang telepon.
“Eh, kok bengong. Telepon dari siapa?”, suara Mama mengagetkanku.
“Ayo tebak Ma, barusan Tiwi terima telepon dari siapa?”.
“Kelihatannya kamu seneng sekali, dari Erick ya?”
Erick temen sekantorku, kami memang belakangan ini dekat sebagai sahabat. Erick orangnya baik dan sangat mengerti aku. Aku menganggapnya sebagai kakak.
“Bukan Ma, tapi Arya. Mama masih ingat Arya kan?”
Mama mengernyitkan dahi, mungkin Mama sudah lupa.
“Itu lho Ma, Arya temen Tiwi jaman SMU dulu”.
“Oo, Nak Arya anaknya Pak Tris. Apa kabarnya tuh anak?”
“Dia kerja di Jakarta sekarang Ma. Tadi nelepon bilang mau kesini, katanya sih mau sungkem sama Mama dan Papa”.
“Mau sungkem sama Mama apa mau ketemu kamu?”, goda Mama.
“Yaa Mama, orang dia sendiri yang bilang mau sungkem sama Mama. Udah ah, Tiwi mau mandi dulu”.
“Duh, yang mau ketemu temen lama. Mandi yang bersih sana, dandan yang cantik ya”, lagi-lagi Mama menggodaku.
“Ah Mama, biasa aja lagi, Ma”.
Selesai mandi, aku bingung sendiri mencari baju yang hendak kupake. Beberapa kali bongkar pasang baju, tapi belum juga menemukan yang pas. Ah, Arya. Kenapa aku jadi deg-degan membayangkan pertemuan dengan Arya? Pilihan terakhir, kuambil jeans belel warna biru plus t’shirt putih ketat. Rambut kukuncir, biar terkesan lebih santai. Pada dasarnya aku memang gak suka neko-neko, aku lebih suka bergaya cuek. Baju favoritku celana pendek dan t’shirt. Karena itu pula dulu Arya jatuh cinta padaku. Katanya dia suka aku karena aku cuek dan tampil seadanya, tanpa harus poles sana sini. Satu lagi, “Gua suka ama loe, karena loe judes Wi”, katanya suatu hari saat dia menembakku. Aku masih deg-degan membayangkan pertemuan dengan Arya yang hanya tinggal beberapa menit lagi.
Aduh Arya. Apa loe masih seperti yang dulu? Sembilan tahun nggak ketemu, ada angin apa tiba-tiba sekarang kami kembali dipertemukan. Apakah Arya masih seperti Arya yang aku kenal sebelas tahun yang lalu? Arya yang jangkung, badannya tegap, hidung mancung, alis tebal, dan sorotan matanya, masihkah tajam seperti dulu? Saat SMU, Arya jadi incaran banyak cewek-cewek disekolahnya. Nggak sedikit cewek-cewek yang melirikku dengan tatapan sinis dan penuh cemburu saat aku digandeng Arya kesekolahnya. Kebetulan aku dan Arya berlainan sekolah.
“Neng, ada tamu mencari Neng Tiwi”, Bi Sumi lagi-lagi membuatku kaget. Dadaku langsung berdebar kencang.
“Itu pasti Arya”, gumanku dalam hati. Waduh, apa yang harus aku lakukan nih. Kenapa sih dadaku nggak bisa diajak kompromi, tenang dikit kenapa. Gemetaran, bingung. Aku jadi salah tingkah. Bolak-balik didalam kamar, seperti setrikaan. Kalimat apa yang harus pertama kali terucap? Ya Tuhan, tolong aku, tenangkan hatiku. Aku tarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati sambil mematut diri didepan cermin. Aku harus keliatan ok didepan Arya.
“Neng, ada tamu untuk Neng”, sekali lagi Bi Sumi menegaskan, melihat aku yang belum juga keluar kamar.
“I…i… iya Bi, suruh tunggu sebentar”, aku sungguh gerogi.
Aku keluar kamar menuju teras depan dengan perasaan yang masih kacau. Dikursi teras depan kulihat Arya dibalut jeans hitam dipadan dengan kemeja kotak-kotak kecil abu. Badannya masih setegap dulu, pikirku. Aku masih terpana dimulut pintu, ragu untuk bersuara. Rupanya Arya merasakan ada yang datang, dan menoleh kearah pintu. Saat mata kita beradu, perasaanku semakin tak menentu, dadaku semakin bergemuruh.
“Hai”, sapaku singkat.
“Hai, apa kabar Wi?” sambut Arya seraya menghampiriku dan menjabat tanganku.
“Baik, loe sendiri?”
“Gua juga baik”.
“Duduk deh”, aku mempersilahkan Arya duduk. Kami duduk dikursi teras depan saling berhadapan. Sesaat kami terdiam dan hanya saling bertatapan.
“Hei, kok malah diam”, aku mencoba mencairkan suasana.
“Rumah ini masih seperti yang dulu ya Wi”. Arya melihat sekeliling teras depan rumahku. Memang masih seperti dulu, tidak banyak berubah. Rumah ini masih sama seperti sembilan tahun yang lalu, hanya catnya saja yang diganti. Papa dulu mendesainnya sedemikian rupa, sehingga bangunannya tetap kokoh dan arsitekturnya juga tidak membosankan. Papaku seorang arsitek yang handal dari ITB. Diseluruh bagian rumah ditatanya dengan apik. Saat SMU, aku sama Arya sering menghabiskan waktu diteras depan ini yang menghadap taman kecil rumahku, disamping garasi. Arya mengenal betul setiap lekuk-lekuk dirumahku, dari teras depan sampai teras belakang.
“Eh, ada tamu ya”. Mama dan Papa datang menghampiri kami. Arya berdiri dari duduknya dan kemudian sungkem sama Mama dan Papa.
“Minal aidzin Walfaidzin Oom, Minal aidzin Walfaidzin Tante. Apa kabar Oom, Tante?”
“Alhamdulillah, kami sehat-sehat saja. Ayo silahkan duduk”. Papa mempersilahkan Arya duduk kembali. Kulihat Arya agak canggung berhadapan dengan kedua orangtuaku, padahal dulu mereka begitu akrab, apalagi kalau sudah main catur sama Papa, pasti ujung-ujungnya saling ledek-ledekan. Mungkin karena lama tak ketemu jadi Arya agak kikuk.
“Tiwi, mana minumannya?”
“Oh iya, Tiwi lupa Ma. Mau minum apa Ya? Masih doyan orange juice kan?” Arya hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Arya suka banget sama orange juice, hampir setiap kali makan keluar, orange juice gak pernah absen dari pesanannya. Sampai-sampai Arya hafal betul direstoran mana yang orange juicenya paling enak.
Aku masuk kedalam hendak mengambil minuman. Arya ngobrol dengan Mama dan Papa. Aku nyuruh Bi Sumi membuat minuman, sambil menunggu Bi Sumi meracik minuman aku masuk kekamar kembali mematut diri didepan cermin. Sepuluh menit kemudian aku keluar sambil membawa nampan berisi orange juice dan makanan kecil.
“Minum Ya”.
“Makasih Wi”.
“Ayo silahkan diminum Nak Arya, kami tinggal dulu kedalam ya”, Mama dan Papa pamitan masuk rumah.
“Wi, loe kerja di Visi Interior ya?” Lho, kok Arya tahu aku kerja disitu, aku sedikit kaget.
“Tahu dari mana loe?” aku balik nanya.
“Eh, gua kan punya detektif Wi, jadi kemanapun loe terbang gua pasti tahu”. Aku hanya tersenyum mendengar candaan Arya.
“Ya, loe kemana aja selama ini?”
“Selulus kuliah gua ngelamar kerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta, sampai sekarang dah empat tahun gua kerja disana”.
“Ibu sama Ayah, loe tinggal di Bandung Ya? Sekarang apa kabarnya mereka?”
“Awalnya gua bingung ninggalin mereka Wi, mereka udah pada sepuh. Tapi mereka juga yang menyuruh gua nerima pekerjaan ini, katanya kesempatan datangnya nggak dua kali. Gua ke Bandung tiap Jum’at malam, balik Jakarta lagi Senin pagi”.
“Gak capek loe, tiap minggu bolak-balik?”
“Kalau gua gak balik kasihan Ibu, lagian Bandung – Jakarta sekarang cuma sejam setengah, lewat Cipularang”.
“Loe tinggal sama Kak Anjar?”
“Nggak Wi, gua kost sendiri. Nggak enak nebeng meskipun dengan kakak sendiri, gua tinggal Fatmawati. Kapan-kapan main dong, loe masih suka kerumah Pak De loe yang di Bintaro kan?”
“Gua jarang banget Ya kesana, hari Sabtu gua masuk kerja, liburku hanya hari Minggu jadi susah mau main jauh-jauh. Paling-paling kalo lebaran kayak gini  baru kita ngumpul. Kemarin Pak De dan Bu De baru balik ke Jakarta lagi”.
“Eh, Seno mana gak kelihatan?” Arya menanyakan adikku.
“Tadi pergi jalan, katanya mau nonton bareng temen-temennya”.
“Wi, Ibu pengen ketemu sama loe. Loe mau kan gua ajak kerumah, mumpung lagi pada ngumpul. Kak Anjar dan Kak Luri besok dah pada pergi ke mertuanya”.
Aku bingung dengan ajakan Arya, sembilan tahun lamanya aku gak ketemu dengan keluarganya Arya, aku pasti kikuk menghadapi mereka semua, meskipun dulu sudah sangat akrab.
“Ayolah Wi, Ibu tadi wanti-wanti supaya membawa loe kerumah”, Arya sedikit memaksaku.
“Loe bilang mau kerumah gua sama Ibu?”
“Ya bilang lah Wi, Ibu juga tadi nitip salam buat Mama dan Papa”.
Aku belum mengiyakan atau menolak ajakan Arya, aku masih bingung. Aku jadi teringat jaman dulu saat-saat kami masih pacaran, kedekatanku dengan keluarga Arya, tidak jarang aku dicandain oleh Kak Anjar kakaknya Arya tiap aku datang kerumahnya Arya.
“Wi, kok malah bengong? Gua hitung sampe lima nih Wi”.
“Tapi Ya…”
“Loe ada acara ya?” Arya memotong kalimatku.
“Nggak sih, cuma gua malu soalnya dah lama gak ketemu mereka”.
“Wi, mereka masih seperti dulu kok jadi gak usah malu lah, ok”.
Aku kembali terdiam sebentar dan menghela nafas panjang.
“Ok deh. Tapi diminum dulu dong. Gua pamit dulu sama Mama ya”, aku masuk kerumah hendak pamit sama Mama dan Papa. Aku masuk kekamar sebentar ngambil tas dan sweater. Kemudian keluar bareng Mama dan Papa.
“Lho, kok buru-buru Nak Arya. Nantilah kita makan dulu, memangnya mau kemana?” tanya Mama.
“Anu Tante, Ibu mau ketemu Tiwi jadi Arya mau ngajak Tiwi kerumah, boleh kan Tante, Oom?”
“Boleh aja, tapi pulangnya jangan terlalu malam ya”, pesan Papa.
“Baik Oom, Tante. Kalau begitu Arya pamit dulu”. Arya berdiri menyalami kedua orang tuaku.
“Iya, hati-hati ya. Salam buat Ibu dan Bapak”.
“Baik Tante, kami pergi dulu”.
“Tiwi pergi ya Ma, Pa”, pamitku pada Mama dan Papa.
Kamipun pergi meninggalkan rumahku dengan menggunakan mobil Toyota Avanza silver-nya Arya, melaju membelah jalan Dago. Didalam mobil aku masih terdiam membayangkan pertemuanku dengan keluarganya Arya, terutama dengan Ibunya. Arya pun banyak diam, hanya sesekali dia menoleh kearahku.
Hanya duapuluh menit jarak tempuh dari rumahku kerumah Arya. Tanpa disadari mobil Arya sudah belok ke blok A, aku masih hafal betul denah perumahan ini, selama tiga tahun aku mondar-mandir diperumahan ini. Toyota Avanza yang kami tumpangipun akhirnya masuk berhenti didepan rumah no 12, rumahnya Arya. Ah, rumah ini begitu berarti, menjadi saksi kisah cintaku dengan Arya sembilan tahun yang lalu. Pikiranku masih terlena membayangkan saat-saat indah bersama Arya dirumah ini.
“Ayo turun Wi”, Arya membukakan pintu mobil untukku. Aku turun dengan dada yang semakin bergemuruh. Kuayun langkah satu demi satu menuju teras rumah Arya. Dari dalam terdengar suara ramai anak kecil, mungkin itu anaknya Kak Luri.
Belum lagi langkahku sampai diteras, pintu rumah sudah terbuka, seorang Ibu berjilbab dengan wajah yang anggun menyambutku dengan senyumnya yang khas. Ibunya Arya, diusianya yang sudah kepala enam tapi masih saja segar.
“Assalamu’alaikum Ibu, apa kabar?” aku segera mencium tangannya, Ibu Arya memelukku.
“Wa’alaikum salam, Nak Tiwi”, kudengar suara Ibu terbata-bata menjawab salamku, rupanya Ibu menahan tangis. Suasana menjadi haru, akupun nggak kuasa menahan tangis.
Kami masih berpelukan diteras saat Ayah dan Kak Luri serta anak dan suaminya berhamburan keluar, satu-satu kusalami mereka dengan mata yang masih basah. Arya menyodorkan tissue kepadaku. Ibu mengajakku dan yang lainnya masuk kedalam rumah.
“Akhirnya anak Ibu yang hilang sudah kembali. Nak Tiwi kemana aja selama ini?” Aku tidak menjawab, hanya tersenyum saja.
“Papa dan Mama apa kabarnya?” tanya Ayah Arya.
“Alhamdulillah sehat Ayah, mereka juga titip salam untuk Ayah dan Ibu disini. Ayah sama Ibu juga sehat kan?”
“Ibu sih sehat Wi, tapi Ayah belakangan ini sering sakit-sakitan, Ayah Hipertensi Nak Tiwi”, Ibu yang duduk disebelahku menjelaskan. Kak Luri datang dari arah dapur membawa nampan berisi  teh hangat.
“Minum Wi”.
“Makasih Kak, jadi ngerepotin”, aku jadi merasa nggak enak, dulu kalau mau minum aku biasa ambil sendiri kedapur.
“Hei, kemana aja loe Wi?” tiba-tiba Kak Anjar keluar dari kamar, langkahnya diikuti perempuan cantik dengan wajah yang sangat keibuan. Istrinya?
“Kenalin Wi, istri gua”, kak Anjar memperkenalkan istrinya.
“Nova”.
“Tiwi”, aku berdiri menyalami istri Kak Anjar.
“Bimo, udah salaman belum sama tantenya?”
“Sudah Ma”, suara Bimo yang masih cadel menjawab.
“Sudah berapa puteranya Kak?”
“Anjar baru satu Wi, Kak Luri sudah dua”,

To Be continued...

Teruntuk para kalelawar malam yang telah pergi dan mungkin takkan kembali :

Diriku dan Dirimu
Aku adalah aku karena bukan dirimu
Dirimu adalah dirimu karena bukan diriku
Namun aku dan kamu ………
Waktu telah berjalan kemudian aku dan kamu menjadi kita
Dengan detak jantung kita melangkah beriringan
Dan kau lukiskan senyum  dalam wajahku
Saat ini waktu tlah tak lagi bersama kita
Aku pun kembali menjadi diriku
Kau pun kembali menjadi dirimu
Kita tlah tak ada …..
Yang ada hanya diriku dan dirimu
Dan kita tlah menggoreskan luka pada diriku dan dirimu……..


                                                                                                                Bandung,  050435